21

57 18 0
                                    

Ren memperhatikan garis wajah Ayahnya dengan lamat setelah sekian lama tidak bertemu dengan pria itu. Ayahnya masih tampan meski beberapa helai rambut putih sudah tumbuh di kepalanya. Masih dingin pula, sama seperti dulu sejak Ibunya masuk rumah sakit. Ren tidak pernah berbincang dengan Ayahnya secara langsung sejak itu, semua tuntutan didapatkannya dari Pak Kim yang meneruskan pesan Ayahnya kepadanya. Tuntutan untuk belajar lebih keras, untuk mengikuti berbagai jenis les agar bisa masuk ke MIT.

Kini berhadapan langsung dengan sang Ayah, Ren merasa kikuk. Daritadi ia hanya bisa diam membayangkan apa yang harus ia lakukan selama seharian dengan pria itu. Ia pun sempat membayangkan liburan para Sahae yang mungkin lebih menyenangkan daripada terkurung dengan Ayahnya--atau liburan bersama Sejeong di Hokkaido. Jelas Ren tidak menyukai jadwalnya hari ini, tapi ia bukanlah Burung Gereja yang bebas ke sana ke mari, ia hanyalah Burung Beo dalam kandang.

"Bagaimana pelajaranmu?" Tanya Sang Ayah tanpa mengalihkan mata dari layar iPad-nya.

"Baik." Jawab Ren sekenanya. Nilainya on the track, cukup baik dan sudah mencapai standar yang diinginkan orangtuanya.

"Kau sudah harus membuat Essay setelah liburan ini, setelah itu Ayah akan menyuruh Mr. Kim untuk menguruskan beberapa berkas pendaftaran. Lalu sepulang liburan, Ayah akan mendaftarkanmu ke beberapa tempat les Internasional untuk persiapan tes masuk MIT."

Lagi. Entah sudah berapa banyak les yang diikuti Ren sejak SMA untuk mempersiapkan dirinya masuk ke Institusi kesukaan Ayahnya itu. Tapi Ren tidak bisa mengelak, ia hanya bisa menganggukkan kepala. "Baik, Ayah."

"Bagaimana Bahasa Inggrismu?"

"On the track."

"Kau harus sering-sering menggunakan Bahasa Inggris di sekolah. Tidak ada gunanya Ayah menyekolahkanmu di Sekolah Kwontain kalau kau sendiri masih bersosialisasi dengan anak kalangan bawah." Jelas Ayahnya sempat melirik Ren sekilas.

"Iya."

"Aku dengar kau dekat dengan Moon Junhui dari Moonfood. Ayah baca beberapa artikel tentang 'pertunanganmu' dengannya."

Ren yang daritadi mencuri pandang ke luar jendela mobil segera berbalik menatap Ayahnya. "K-kami memang teman sejak kecil, Ayah."

"Ayah berteman baik dengan keluarga Moon, jadi tidak ada masalah. Kau memang harus sering-sering menghabiskan waktu dengannya." Kata Ayahnya tanpa ekspresi tertentu sehingga Ren tidak bisa menebak apakah pria itu senang atau biasa saja.

"Kau juga akan berkuliah bersama teman-teman kecilmu di London Business School. Jadi kau harus bisa cepat lulus di MIT dengan nilai yang baik." Tambah Ayahnya membuat Ren menggigit bibir bawah, menahan diri untuk tidak melongos kesal.

Bertahun-tahun tidak bertemu, kemudian dipertemukan kembali, Ayahnya malah terus membicarakan tentang apa yang harus ia lakukan; tentang masa depan, pelajaran, MIT, bisnis. Kadang Ren sangsi Ayahnya benar-benar peduli kepadanya.

"Kau akan masuk asrama MIT agar bisa fokus belajar dan bertemu dengan teman-teman yang sama cerdasnya denganmu. Dan Bernard akan terus memantau perkembanganmu selama di sini."

Ren terus menganggukkan kepala, kembali memperhatikan pemandangan di luar jendela begitu mereka memasuki kawasan MIT yang ramai dengan anak-anak muda--mahasiswa yang tengah berjalan sendiri atau pun bersama teman-temannya menuju bangunan kelas. Ia tidak bisa membayangkan kehidupan yang bebas saat berkuliah dan ingin sekali menghela napas panjang untuk membuang sesak yang muncul di dadanya.

Begitu mobil mereka berhenti, Ren segera membuka seatbelt, mengikuti Ayahnya yang memberikan iPadnya kepada Bernard yang daritadi duduk di hadapan mereka tanpa suara. Saat Ren ingin turun dari mobil, tangannya ditahan sang Ayah. Pria itu menatap Ren sesaat, tersenyum kecil lalu mengusap puncak kepalanya dengan lembut.

"Terima kasih, Ren."

~~~

Kedua mata Jun nyalang memperhatikan pemandangan di sekitarnya. Pria itu sudah berjalan-jalan mengikuti tur kampus MIT sejak pagi dan kini tengah duduk di sebuah kursi yang berdekatan dengan pembatas lantai dua Media Lab, sebuah bangunan yang diperuntukkan bagi anak-anak Jurusan Arsitektur MIT. Ia sengaja duduk di sana, menunggu Ren yang katanya sedang melakukan private tour dengan Ayah gadis itu juga beberapa dosen dan kolega Ayahnya di sana.

Tidak perlu ditanya, MIT memang bagus. Bahkan Jun terpana dengan semua fasilitas yang tersedia untuk mahasiswa di sana. Sekolahnya juga sudah punya fasilitas yang memadai, tapi MIT lebih dari itu.

Saat asyik memandangi orang-orang yang tengah belajar atau membuat sesuatu di lantai 1, Jun menangkap postur Ren dan Ayahnya tengah berbincang dengan seorang pria di dekat pintu masuk Media Lab. Ketiganya berbincang dengan cukup mengasyikkan sampai Jun ikut tersenyum melihat Ren tampak antusias.

Jun tidak tahu kalau Ren bisa seantusias itu karena biasanya Ren akan mengerucutkan bibir setiap mereka membicarakan MIT dan rencana masa depan yang sudah disusun kedua orangtuanya. Atau mungkin ia sudah dibawa berkeliling MIT dan kepalanya sudah dicekok dengan berbagai macam mantra dari Ayahnya sampai ia bisa sesenang itu.

"Jun!?"

Kedua mata Ren terbelalak melihat Jun turun dari tangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kedua mata Ren terbelalak melihat Jun turun dari tangga. Ya, Jun memberanikan diri untuk menghampiri Ren, Ayahnya dan Bernard yang muncul setelah satu pria kaukasian yang berbincang dengan mereka beranjak dari depan pintu Media Lab.

Jun menganggukkan kepala dengan sopan kepada Ayah Ren yang ikut menatapnya dengan intens, lalu menerima uluran tangan pria itu untuk berjabat tangan. Jun pernah bertemu dengan pria itu beberapa kali saat ia masih kecil dan aura pria itu tetap sama.

"Junhui? Kau sudah besar." Kata Ayah Ren dengan ramah, senyum terkembang di sana dan Jun ikut tersenyum melihatnya.

"Bagaimana kabarnya, Paman?"

"Paman baik-baik saja. Bahkan Paman baru bertemu Ayahmu minggu lalu untuk membicarakan rencana pembangunan pabrik baru di Indonesia." Jelas Ayah Ren dibalas anggukan kepala Jun. Ia sejujurnya tidak tahu soal itu tapi tahu jelas soal rencana pembangunan perusahaan baru di Indonesia.

"Semoga pembangunannya bisa berjalan lancar, Paman."

"Ya, Paman harap begitu. Kau? Ke sini... menjemput Ren?"

Jun mengangguk lagi, melirik Ren yang daritadi diam memperhatikannya berbincang dengan sang Ayah.

"Boleh, kan, Paman?"

"Tentu saja. Paman juga harus kembali ke Boston." Ujar Ayah Ren lalu melihat jam tangan. Ia lalu memanggil Bernard, meminta ponsel untuk melihat sesuatu di sana.

"Ren, Ayah kembali dulu ke Boston. Ingat kata Mr. Nürnberg soal Essay-mu. Kita akan bicarakan soal MIT lain waktu." Kata sang Ayah tanpa memalingkan wajah dari ponsel.

Ren hanya mengangguk, menatap ujung sepatunya tidak penuh minat.

"Junhui, Paman titip Ren." Kata Ayah Ren kemudian berpamitan kepada Jun. Sebelum benar-benar beranjak, pria itu sempat menatap Ren sekilas lalu menepuk puncak kepala anak gadisnya dengan lembut.

"Ingat Essay-mu, ya Ren."

Don't forget to like and comment yaa kalau suka ^^

Summertime [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang