31

50 15 0
                                    

Tubuh Ren tidak begitu mungil, tapi perawakannya lebih kecil daripada Jun yang tingginya semampai berlari kencang memasuki kawasan rumah sakit pada jam 2 pagi dini hari begitu sampai di Seoul. Ren sudah mencoba tidur selama penerbangan mereka tadi, sempat terlelap beberapa jam tapi benaknya tidak bisa tenang bahkan sampai sekarang--dan rasa kantuk tidak juga menyerangnya. Ren merasa sangat segar sampai ingin cepat-cepat melihat Ibunya di ruang ICU.

Di belakang Ren ada Jun yang senantiasa menemani. Pria itu bisa berlari lebih kencang tapi ia membiarkannya berlari lebih dulu, sembari memantau kondisi Ren yang membuatnya khawatir. Selama di pesawat Jun selalu menyuruh Ren untuk beristirahat namun gadis itu tidak menjawab dan terus memandang layar ponsel. Sempat ia melihat Ren terlelap, tapi tidak lama karena gadis itu akan kembali terbangun untuk mengecek benda persegi yang daritadi terus menempel di tangannya.

"Ren!"

Jun mencegat Ren yang ingin membuka pintu ICU. Ia memeluk tubuh Ren dari belakang sambil memandang ke jendela kecil yang memperlihatkan setengah kasur yang ditempati Ibu Ren di dalam kamar khusus itu, sisanya tertutup horden hingga ia tidak bisa memastikan kondisi Ibu Ren sekarang.

"Aku ingin masuk." Ucap Ren berusaha melepas diri dari pelukan Jun tapi energi gadis itu tidak sekuat Jun.

"Jun!" Seru Ren kesal tapi Jun menggelengkan kepala.

"Ini jam 2 pagi, Ren!" Gertak Jun menahan diri untuk tidak berteriak sambil menyeret Ren ke atas kursi pengunjung yang berada di sisi lorong rumah sakit dekat ruangan itu.

Ren sempat memberontak, namun akhirnya gadis itu duduk juga setelah Jun menahannya untuk tidak berdiri dengan berlutut di hadapan Ren sambil memandang lurus ke mata Ren yang menampakkan kekhawatiran yang berlebihan. Ia memegang kedua bahu Ren dengan kencang, memaksa Ren membalas tatapan matanya.

"Sekarang kau tidur. Kita bisa mengetahui kabar Ibumu sebentar pagi, Ren. Jangan melakukan keributan di sini atau kau dikeluarkan oleh satpam rumah sakit."

"Tap--"

"Aku tahu kau khawatir, tapi kau tidak boleh masuk sembarangan. Ini masih jam 2 pagi, Ren!"

Ren menatap pria di hadapannya dengan kalut, hal yang ingin dilakukan Ren saat ini adalah memeluk Ibunya dengan erat. Hal yang tidak dapat ia lakukan karena kondisi Ibunya yang tidak memungkinkan untuk dijenguk. Apalagi sekarang masih jam 2 pagi. Tentu saja Jun benar.

"Aku akan coba berbicara dengan perawat, kalau mereka punya kamar kosong aku akan mengambilnya untuk kau tidur." Kata Jun kemudian sambil mengusap puncak kepala Ren dengan lembut. Ia dan Ren bertatapan selama beberapa saat sebelum dirinya menghela napas perlahan dan memamerkan senyum tipis kepada perempuan di hadapannya.

"Tidak perlu, Jun." Tiba-tiba Ren menahan tangan Jun saat pria itu ingin berdiri.

"Hm?"

"Tidak perlu sewa kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tidak perlu sewa kamar. Itu untuk pasien... kita di sini saja." Kata Ren lagi, lebih jelas. "Atau... kau mau pulang untuk beristirahat? Aku tidak akan menahanmu."

Kepala Jun bergerak ke kiri dan ke kanan. Senyumnya menguar lebih lebar. "Aku akan menemanimu di sini, Ren."

"Kau... tidak... emm... tidak keberatan?"

Jun ingin sekali tertawa saat melihat wajah Ren yang penuh harap, tapi kondisinya tidak memungkinkan sehingga pria itu hanya menganggukkan kepala dan kembali mengusap rambut panjang Ren yang sedikit berantakan setelah aksi lari-larian mereka.

"Terima kasih, Jun." Kata Ren dengan tulus, sedikit tidak percaya dengan sikap Jun yang penuh perhatian kepadanya, yang mau beranjak dari konser BSB, yang rela menggunakan Private Jet untuk mengantarnya ke Seoul dan yang rela menemaninya di rumah sakit di pagi buta.

"Sama-sama, Ren." Balas Jun lalu duduk di samping Ren sambil bersidekap. Ia menarik napas panjang, mencium bau antiseptik yang sedikit menusuk hidung, yang entah mengapa rasanya tidak begitu menyenangkan--tidak seperti bau kamar mandi yang baru dibersihkan pelayannya dengan antiseptik mahal. Tapi perasaan tidak menyenangkan itu segera sirna saat kedua matanya melirik Ren di sisinya yang sudah bersandar pada punggung kursi.

Dibalik kekhawatirannya akan gadis itu, Jun merasa hatinya berbuncah bahagia bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Ren. Bahkan ia bisa memberikan semua perhatiannya kepada Ren dengan jelas. Mungkin terdengar jahat, tapi ia bersyukur bisa berada di sisi Ren saat kondisi Ibu gadis itu sedang memburuk.

"Ibu akan baik-baik saja, kan, Jun?" Tanya Ren tiba-tiba, tanpa mengalihkan kedua matanya dari pintu ruang ICU.

Ditanya seperti itu membuat Jun bingung. Ia tidak tahu jawaban bijaknya.

"Kau tahu? Saat pertama kali Ibu masuk rumah sakit... aku kira... aku kira Ibu hanya sakit perut atau suntik vitamin seperti biasa. Jadi, waktu itu aku tidak begitu peduli... rasanya menyesal, Jun. Ternyata waktu itu Ibu divonis Kanker Serviks dan harus rawat inap selama beberapa hari di rumah sakit dan aku tidak pernah menjenguknya."

Cerita itu mengalir dari mulut Ren tanpa bisa dikontrol pemiliknya. Berlanjut dengan cerita saat pertama kali ia mengetahui penyakit Ibunya dari media, lalu saat ia berbincang dengan Dokter pertama kali, tentang kondisi Ibunya yang tidak memungkinkan lagi untuk sembuh dari penyakit mematikan itu. Semuanya diceritakan Ren tanpa ada yang ditutupi dan Jun diam mendengarkan. Pria itu tidak tahu harus bersikap bagaimana tapi yang jelas ia paham kalau Ren hanya ingin didengarkan.

"Ayahku... kecewa Ibu sakit. Aku tidak tahu dia peduli atau tidak, tapi sejak Ibu sakit ia makin gila bekerja dan jarang pulang ke rumah." Jelas Ren sambil tersenyum tipis, jelas bukan senyum bahagia karena gadis itu merasa dadanya sesak setiap mengingat raut wajah Ayahnya berdiri di ambang pintu kamar Ibunya beberapa tahun lalu.

"Aku pernah menemani Ibu kemo, melihat beberapa pasien... mereka diantar keluarganya. Suami, anak, orangtua... ramai, Jun. Semuanya kelihatan khawatir tapi mereka menyembunyikannya dan terus menemani pasien-pasien itu. Aku merasa iri... karena keluargaku tidak sepengertian itu."

Napas Ren terhela panjang. Kini gadis itu menyandarkan kepalanya pada dinding lorong di belakang kursi. Selama beberapa saat ia memejamkan mata lalu menguap. Sedangkan Jun yang merasa ikut sesak saat mendengarkan cerita Ren soal keluarga, segera menegapkan tubuh. Ia menepuk bahu Ren pelan sebelum gadis itu terlelap di sisinya.

"Ren?"

"Ya?"

Jun lantas membuka jaket kulit yang daritadi ia kenakan, kemudian menepuk pahanya, menyuruh Ren untuk membaringkan kepala di sana.

"Tidak, Jun." Elak Ren cepat, menyembunyikan rasa malu yang menghampirinya saat membayangkan dirinya berbaring di paha Jun. Gadis itu bahkan sadar jantungnya berdegup tidak karuan sampai wajahnya memanas.

"Badanmu akan sakit kalau tidur seperti itu." Kata Jun tegas.

Ren menggelengkan kepala. "Aku tidak akan tidur."

"Ren." Desis Jun menahan kesal.

"Tidak, Jun."

"Kalau kau tidak kunjung berbaring aku akan menarik tubuhmu." Kata Jun mengancam sampai Ren mendelik kepadanya.

Tapi Jun tidak merasa takut sekarang. Pria itu bahkan sudah memegang lengan Ren dan menarik gadis itu pelan. Yang ditarik ingin protes tapi kedua mata Jun memelototinya dengan garang.

"Jangan berbuat yang aneh-aneh!" Kata Ren sebelum membaringkan kepala di atas paha pria itu. Jun mendengar tapi tidak merespon, ia malah membentangkan jaket kulitnya di udara dan menjadikannya sebagai selimut untuk Ren.

"Tidur atau ku cium!" Kata Jun saat membalas tatapan tajam Ren yang sudah berbaring di pahanya.

Dan Ren melongos sebelum memejamkan mata, membuat Jun nyengir karena merasa senang bisa memenangkan perdebatan tidak penting dengan gadis itu.

Don't forget to like and comment yaa kalau suka ^^

Summertime [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang