"Menjadikan mu milikku hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang aku tak ingin segera berakhir, agar aku bisa memilikimu walaupun hanya di dalam mimpi."
-Argantara
***
Pelajaran sejarah telah berlangsung beberapa menit yang lalu, tapi murid-murid sudah mulai dengan kantuknya yang bergilir. Membuat ruang kelas IPA 3 yang tadinya heboh menjadi sunyi dan senyap. Yang terdengar hanya penjelasan Bapak Sejarah di depan, membahas masa lalu, maksudnya sejarah.
"Ga."
"Arga."
"Argantara!"
"Apaan, Dir? Lo mau gue di omelin di depan?"
"Gue masih kepo, nih. Lo berdua bahas apaan semalam. Jangan bilang lo berdua jadian."
"Jadian apaan? Kita ngomong layaknya teman, teman yang baru aja baikkan."
"Gue gak percaya."
"Serah."
"Pasti ada sesuatu antara kalian berdua. Gue bakal nanya ke Boba aja."
"Tanya, gue gak takut."
***
"Gak ada apa-apa, sih. Meyra malah lebih pendiam dari biasanya, lebih kalem."
"Dia mah selalu kalem, enggak kayak kamu bar-bar," ucap Dirga ngasal mendapatkan tatapan mematikan dari Indah.
"Emang Arga ngomong apaan ke kamu?"
"Gak ada, di juga bilang gak ada apa-apa. Kita ngomong layaknya teman, gitu katanya."
"Berarti benar yang di bilang Meyra, emang gak ada apa-apa. Lagian kalau Meyra bilang gak ada apa-apa, ya emang gak ada apa-apa. Karena Meyra gak pernah bohong soal kata-katanya kalau sama aku."
"Arga juga gitu, sih. Ah, tapi aku masih gak percaya sama mereka berdua."
"Ya, udah, sih. Terserah mereka berdua aja baik nya gimana."
***
Meyra berjalan menuju pintu megah milik keluarganya, ia sudah lelah seharian belajar, les, diakhiri eksul modeling nya. Minggu depan dia ada pemotretan untuk promosi iklan perdananya. Ia begitu lelah akhir-akhir ini.
Sudah Meyra duga, pasti sudah ada yang menunggu kedatangannya tiba. Papanya berdiri tak beberapa jauh dari tempatnya. Mukanya datar tak berekspresi, tapi Meyra tau banyak pertanyaan di benaknya.
"Kemana kamu semalam?" satu pertanyaan lolos dari mulutnya. Meyra bungkam, dia terlalu lelah untuk sekedar berdebat.
Meyra tak memperdulikan pertanyaan itu, yang dia ingin segera tidur di kasur empuk miliknya.
"Meyra!" pekik Papanya. Wajah Papanya mulai kesal memandang anak semata wayangnya.
Langkahnya terhenti, menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya secara kasar. Meyra berbalik menatap sang Papa yang penuh emosi.
"Meyra gak ngelakuin hal yang salah. Jadi kenapa Papa harus marah?"
"Papa tanya kamu kemana semalam?!"
Meyra membuang nafas kasar kesekian kalinya. Dia lelah, dia capek, dia muak dengan semuanya. "Cuma jalan-jalan sama teman, itu juga sebentar."
"Seharian kamu bilang sebentar?! Apa kamu ada izin sama Papa? Gak ada, 'kan?! Kamu udah berani diam-diam keluar dari rumah."
"Apa semuanya harus ada persetujuan dari Papa? Bahkan buat nenangin pikiran aja harus izin? Apa Papa bakal izinin aku kalau aku bilang bakal pergi sama teman. Enggak, 'kan?"
"Apa itu salah juga di mata Papa? Kenapa setiap apa pun yang aku lakuin selalu salah di mata Papa?"
"Berhenti menjawab, Meyra! Kamu mulai berani melawan Papa!" suara sang Papa menggema dirumah besar tak berpenghuni itu. Meyra capek, Meyra butuh istirahat.
"Pa, Meyra capek. Dari kecil Meyra selalu dipaksa buat bisa ngelakuin ini dan itu. Meyra cuma manusia biasa, bukan robot. Meyra juga pengen ngerasain kasih sayang dan cinta dari keluarga. Bukan tuntutan ini dan itu. Meyra lelah, Pa. Meyra capek."
Tangisan yang sedari tadi ia tahan pecah begitu saja, berlari masuk ke kamar. Membiarkan teriakan amarah dari Papanya menggema diluar kamar. Meyra udah gak peduli, dia terlalu lelah dengan semuanya.
"Arga, Meyra rindu kamu. Meyra butuh kamu disini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga & Cinta Pertamanya [SELESAI]
Teen Fiction"Kau tak sepantasnya ku rindu, kau bahkan tak sepantasnya ku cinta. Karena bagimu aku hanyalah benalu, sedangkan bagiku kau lebih dari sekedar bintang di langit. Selain susah digapai, kau juga susah untuk ku miliki." -Argantara *** Start, 23 Januari...