12. Takut

3 1 0
                                    

"Dirga."

"Hmm."

"Gue mau cerita."

"Hmm."

"Dengerin gue dulu, Dir. Hmm, hmm, mulu lo. Mau nyanyi lo."

"Bentar, Ga. Gue lagi nge-game."

"Akhir-akhir ini gue mimpi-in Meyra mulu. Padahal gue jarang banget ketemu dia. Menurut lo gue harus gimana, Dir?"

"Sialan, kalah gue!" kesal Dirga mematikan ponselnya lalu memasukkannya ke saku. "Kenapa-kenapa, coba ulang."

"Punya teman gini amat, udahlah gak jadi. Udah basi."

"Salah lo juga gue lagi nge-game diajakin cerita. Ya, gue gak dengarlah."

"Bodoamat lah, Dir. Gue lapar."

"Arga, lo mau kemana?"

"Ke kantin," jawab Arga, melanjutkan jalannya, Dirga mengekornya dari belakang.

***

"Kita mau makan dimana, Ga? Meja pada penuh semua."

Dirga sibuk melihat sekeliling kantin yang penuh dengan siswa-siswi yang sedang makan siang. Hanya tersisa satu meja yang berisi Meyra dan Indah. Tak ada yang berani duduk berdekatan dengan Meyra yang begitu dingin dan acuh.

"Nah, itu ada meja buat kita, Ga. Ada my Boba juga disana."

"Enggak-enggak, gue gak mau."

Arga ingin beranjak pergi, tapi keburu ditarik duluan oleh Dirga dan membawanya kemeja mereka.

"Duduk, Ga. Kayak anak kecil aja lo. Hai, my Boba! Kamu makan apa?"

"Gak lihat aku makan apa emang?" ketus Indah lalu melahap makan siangnya. Dirga beralih menatap Arga dan Meyra yang ada didepannya. Persis seperti orang asing yang tak saling sapa. Baik Arga maupun Meyra sama-sama acuh.

"Ngapain bawa Arga, sih? Suasana hatinya Meyra lagi gak baik, dia bisa meledak kapan aja," tutur Indah berbisik, takut kedengaran oleh Meyra.

"Emang dia kenapa, Boba?"

"Intinya selesai makan langsung cabut, gue gak tau apa yang bakal terjadi jika sedikit aja Meyra di usik."

"Gue selesai, gue cabut duluan," ucap Meyra tapi tak sengaja menjatuhkan sapu tangan miliknya. Arga segera mengambil dan memberhentikan langkah Meyra, tapi Meyra menyeka kuat tangan Arga lalu pergi begitu saja.

Arga tak tinggal diam, dia segera menyusul Meyra yang pergi entah kemana.

Indah pun tak tinggal diam, dia juga segera bangkit dan berniat untuk mengejar mereka berdua. Tapi lebih dulu di cegah Dirga. "Biarin mereka nyelesain masalah mereka sendiri, Boba. Kita gak perlu ikut campur."

"Tapi gue takut Meyra kenapa-kenapa, Gaga."

"Gak bakal, tenang aja, ada Arga disitu."

Indah mengangguk paham lalu kembali menyelesaikan makannya.

"Meyra, tunggu!" ucap Arga, Meyra memberhentikan langkahnya. Arga bahkan mengejar Meyra sampai ke atap sekolah.

"Ngapain lo ngikutin gue?! Lo, 'kan tau gue gak suka sama lo. Apa perlu gue bilang gue benci sama lo? Biar lo sakit hati baru lo ngerti arti ngejauh?!"

"Mey..."

"Berhenti ngikutin gue, gue gak suka sama lo. Kenapa lo gak ngerti, sih, Ga. Gue takut lo terluka."

"Mey, jangan nangis. Aku gak suka lihat kamu sedih."

"Selama ini gue tahan, gue gak mau lo ikut ngerasain apa yang gue rasa. Gue gak mau lo terluka, Ga. Tolong, jauhi gue."

Meyra terduduk lemas, air matanya jatuh begitu saja. Arga memeluk tubuh Meyra dalam dekapannya, ia tak tau ternyata Meyra sangat terluka selama ini.

"Meyra, Arga sayang sama kamu. Kamu jangan nangis, Arga gak suka lihat kamu sedih. Selama ini aku emang gak tau apa masalah yang kamu hadapi, tapi kamu bisa cerita, aku selalu siap buat dengarkan cerita kamu."

"Enggak, Ga. Lo gak pantes buat gue, lo gak seharusnya suka sama gue. Kenapa ... Kenapa harus gue? Dari sekian banyak cewek kenapa harus gue yang lo suka? Kenapa, Ga?!"

"Menyukai seseorang tak butuh alasan. Apa dengan aku menyukaimu itu termasuk hal yang salah?"

"Iya, salah. Gak sepantasnya lo suka sama gue."

"Kenapa? Apa alasannya?"

"Karena semakin lo suka sama gue, semakin gue susah buat ngejauh dari lo."

Arga terdiam.

"Gue suka sama lo, Ga," lanjut Meyra.

Arga membulatkan mata tidak percaya. Waktu terasa berhenti beberapa detik, ini memilukan.

"Gue gak mau buat orang yang gue suka sakit hati, tapi selama ini yang gue lakuin selalu jahat sama lo. Gak pernah ngepeduliin elo, cuek, dingin sama lo. Bahkan selalu berkata kasar. Gue gak pantes lo suka, Ga."

Arga menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan, dipegangnya kedua tangan Meyra. Keringat bahkan mulai bercucuran di dahi Arga, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. "Meyra, jadi pacar gue, ya!"

"Hah?!"

Arga & Cinta Pertamanya [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang