28. Boneka

2 1 0
                                    

Meyra turun dari mobil, melihat semua orang menangis. Suasana sedih dan langit juga sedang gerimis, persis seperti perasaannya saat ini.

Ia berjalan pelan, se-pelan mungkin untuk menggapai seseorang yang terbaring tak bernyawa disana. Tertutup kain putih, dikelilingi orang-orang berbaju hitam, dan semuanya tengah menangis. Menangisi kepergian orang yang sangat mereka sayangi.

'Apa yang terjadi?'

'Siapa yang meninggal?'

'Mengapa rasanya berat untuk sekedar berbicara atau bahkan berteriak. Ada apa ini?!"

"Meyra, yang sabar, ya. Lo harus ikhlas, ini yang terbaik buat semuanya."

'Terbaik apanya, Indah? Siapa yang meninggal? Kenapa gue bahkan rasanya gak bisa buat ngomong!'

Indah ikut sedih memeluk erat pundak Meyra, dia tau itu sangat sulit untuk dirinya. Air mata Meyra jatuh begitu saja, saat penutup wajah jenazah itu terbuka betapa sakit perasaannya. Sosok yang begitu ia cinta, sudah terbaring tak bernyawa disana.

'Arga? Enggak, gak mungkin! Enggak mungkin itu Arga! Enggak!'

Meyra menangis histeris, mendorong kuat tubuh Indah yang menghalanginya lalu mencoba berlari menghampiri tubuh Arga di ujung sana. Walupun berulang kali terjatuh, ia terus berlari. Kakinya terasa mati rasa. Rasanya sangat jauh, sangat susah untuk digapai, walupun Meyra bersusah payah untuk berlari. Semakin ia kejar, itu semakin tampak jauh.

'Argantaraaa!'

"Meyra, Meyra, Meyra! Bangun, Nak!" Guncangan dari tangan Mamanya Meyra membuat Meyra tersadar, nafasnya memburu. Kenapa itu tampak nyata. Bahkan sisa air mata itu baru saja jatuh ke pipi Meyra.

"Kamu mimpi apa, Mey? Kamu seolah ingin menjerit, tapi tidak bisa. Ada apa? Cerita ke Mama."

"Handphone, Handphone, Meyra mana, Ma?" Ia seperti orang kebingungan, ia takut, sangat takut.

"Bukannya kamu tinggalin di rumah?"

"Hah? Tinggal di rumah?"

"Iya, waktu Mama tanyain kamu diam aja. Mama pikir nyampe nanti mau ganti ponsel baru."

Meyra menutup mulutnya tidak percaya, se-ceroboh itu dirinya melupakan handphone.

"Ponsel Mama ada, 'kan? Meyra pinjam sebentar boleh, ya?"

"Boleh, ini," ucap Mamanya Meyra memberikan ponsel miliknya.

"Halo, Tante Mira. Udah nyampe di Australia? Meyra nya mana, Tan?" ucap Indah ditelpon pasalnya ia pikir Mamanya Meyra lah yang menghubunginya.

"Halo, Ndah. Ini gue Meyra, gue boleh minta tolong sesuatu gak?"

"Lo kenapa, Mey? Kok kayak panik gitu? Semua baik-baik aja, 'kan?"

"Baik, Alhamdulillah. Gue minta tolong lo hubungi Arga tanya dia dimana. Atau enggak Dirga, tanya Arga dimana. Lagi apa?"

"Lo sekangen itu sama, Arga? Baru beberapa jam lho, masa' iya lo khawatir sama tu anak."

"Banyak nanya, deh. Buruan, Ndah!"

"Iya-iya, santai kenapa, sih. Nih, gue lagi chat Dirga."

"Dia bilang apaan?"

"Katanya Arga baik-baik aja, lagi istirahat dirumah."

Meyra bernafas lega, jantungnya bisa aman mendengar keadaan Arga. "Okey, Ndah. Makasih, ya. Ntar kalau udah nyampe rumah gue hubungi lagi."

Meyra mematikan panggilannya, lalu mengembalikan ponsel itu.

"Ada apa, Mey? Kok tiba-tiba panik nelpon Indah?" tanya Mira.

"Gak ada apa-apa, Ma. Makasih udah pinjami ponselnya."

"Iya, sama-sama. Sebentar lagi sampe bandara, kamu siap-siap kita bakal turun langsung ke rumah Mama. Besok pagi kamu ikut tes ke universitas yang Mama pilih, 'kan? Jadi harus banyak istirahat dan jangan lupa belajar walau sebentar. Okey?"

Meyra mengangguk pasrah sambil tersenyum paksa.

Ia kembali menjadi boneka kesayangan Mamanya. Setelah banyak masalah yang ia lalui dengan Papanya, kini Meyra harus bersiap dengan tekanan dan pilihan Mamanya yang bahkan Meyra sendiri tidak suka.

Hidupnya di penuhi tuntutan dan keinginan ini dan itu dari orangtuanya. Meyra bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia merasa bahagia.

Arga & Cinta Pertamanya [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang