Meyra gugup bukan main, perasaannya campur aduk. Senang, sedih, khawatir dan takut.
"Mey? Lo siap, 'kan? Gue harap lo tabah, ya."
"Gue gak yakin, Ndah. Gue takut buat ketemu sama dia."
"Dia butuh lo, sampai sekarang dia masih nungguin lo. Lo jangan sedih, lo harus kuat, Mey. Siapa lagi yang bakal nyemangatin dia kalau bukan lo."
Meyra menarik nafas dalam-dalam lalu memberanikan diri membuka pintu ruang inap berwarna putih itu. Senyap, sunyi, sepi. Yang terdengar hanya alat bantu bernafas dan alat yang sesekali menampilkan detak jantung seseorang.
Meyra duduk disampingnya, menggenggam tangan yang selalu ia rindukan. Wajah yang semakin tirus, dan tubuhnya yang semakin kurus. Bahkan rambut di kepalanya sudah tak tersisa satu pun.
Sakit, hatinya begitu sakit. Tapi Meyra gak boleh nangis, ia harus tersenyum agar seseorang yang ia genggam jemarinya ini ikut tersenyum.
"Bagaimana kabarmu? Aku sudah pulang, apa kamu tidak rindu? Maaf untuk segala hal yang pernah aku lakukan, maaf. Kini aku benar-benar sudah bebas, kita bisa melakukan apa pun yang kita mau. Aku rindu saat-saat indah bersamamu, karena tidak ada satu momen pun terlupa dari memori ku. Sungguh, aku benar-benar rindu. Jadi, lekaslah sembuh agar kamu bisa melihat ku."
Meyra tak tahan lagi, ia berlari keluar dan menangis tersedu-sedu. Indah mengusap punggungnya pelan. Ia tau ini lebih dari sekedar berat. Tapi inilah kenyataannya. Pedih.
"Gue kira gue kuat setelah melihatnya. Tapi ternyata, gue malah makin sedih melihat dia terbaring lemah disana. Seenggak adil itu waktu. Saat kita sama-sama bisa saling sapa, waktu maksa gue buat jauh. Pas gue udah dekat sama dia, waktu buat dia gak bisa nyapa gue."
Tangisan Meyra pecah, ia terduduk lemas di lantai. Bahkan setelah melewati masa-masa sulit selama empat tahun belakangan ini, dia harus di hadang dengan cobaan baru.
***
Beberapa bulan sebelum keberangkatan ke Indonesia...
Meyra sedang diruang make-up, dirinya hampir sejam menjalankan pemotretan dan akan segera selesai beberapa saat lagi. Melelahkan, sangat. Dia harus menyelesaikan pemotretan ini segera, besok dia harus benar-benar fokus menyelesaikan tugas kuliahnya yang semakin hari semakin menumpuk.
Ia benar-benar rindu Indonesia, Indah, Dirga, dan Argantara.
"Meyra, are you ready?" ucap seorang perempuan yang tengah menatapnya dari pantulan cermin. Meyra menarik nafas dalam lalu mengangguk semangat, segera ia bangkit dan menyelesaikan pemotretan terakhirnya hari ini.
Selesai. Meyra menghempas tubuhnya ke kasur. Menatap langit-langit kamarnya yang bewarna putih bersih. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dirinya begitu lelah, tapi susah untuk sekedar memejamkan mata. Sementara banyak jadwal dan tugas kuliah yang harus ia selesaikan segera. Belum lagi permintaan Mamanya yang ini dan itu. Meyra benar-benar muak.
"Arga, aku rindu."
Malam berganti siang, kini Meyra siap dengan dirinya yang akan menghadap dosen untuk tugas akhirnya. Dia harap ini segera selesai, ia lelah dengan semuanya. Rasa penat, lelah, sedih, semoga berganti dengan hari yang lebih baik.
"Jangan dipaksain, Mey. Muka lo kelihatan banget letih-nya. Begadang lagi lo?" tanya Hana, teman kampusnya yang sama-sama dari Indonesia.
Meyra menggeleng pelan, muka letih-nya sama sekali tak bisa ia tutupkan hanya dengan sebuah polesan make-up, dirinya benar-benar lelah. "Semalam sibuk sama pemotretan yang ke tunda beberapa hari yang lalu. Gue gak mau Nyokap gue ngasih peringatan yang entah keberapa lagi buat gue. Jadi kali ini gue turutin sampai selesai." Meyra tersenyum paksa, matanya tampak ngantuk, seperti orang yang kurang tidur.
"Mungkin lo udah muak sama kata-kata dari gue, tapi semangat ya, Mey. Gue selalu dukung elo kok."
"Iya, Han. Makasih, itu lebih dari pada cukup."
Meyra berhenti sejenak, entah kenapa rasanya begitu sakit di bagian kepala. Hana menuntun Meyra agar duduk di kursi kampus, entah kenapa Meyra jadi lemah begini.
"Lo pasti kecapean banget, ya. Muka lo jadi pucat gini tiba-tiba, udah sarapan lo?" tanya Hana khawatir, Meyra menggeleng pelan lalu kembali memegang kepalanya yang terasa begitu nyeri.
"Kebiasaan si Meyra gak pernah sarapan. Capek banget gue ngasih taunya. Tunggu disini, gue ke kantin beli makanan sama obat buat lo."
Hana meninggalkan tasnya di samping Meyra lalu berjalan sedikit cepat menuju kantin. Meyra tak habis pikir, apa yang terjadi pada dirinya.
Ponselnya berdering, terpampang nama Indah disana. Mengapa dia tiba-tiba menelpon?
"Hallo?" ucap Meyra pelan, sakit di kepalanya membuat dia susah untuk sekedar berbicara.
"Mey, Arga, Mey!"
Isakan yang Meyra dengar, semoga bukan hal yang buruk. Ia benar-benar takut.
"Arga kenapa, Ndah? Lo kok kayak nangis gitu?"
"Arga koma, Mey!"
Deg.
Meyra membelak kaget, jantungnya serasa berhenti untuk beberapa saat. Ponselnya yang di genggamannya pun jatuh ke kursi di sampingnya. Meyra terdiam.
"Arga drop dari tiga hari yang lalu, terus pagi ini dia koma, gak sadarkan diri."
"Mey, lo dengerin gue gak?"
"Mey?!"
"Meyraaaa!" teriak Hana dari kejauhan melihat temannya sudah tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Segera Hana memanggil bantuan dan membawa Meyra ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga & Cinta Pertamanya [SELESAI]
Teen Fiction"Kau tak sepantasnya ku rindu, kau bahkan tak sepantasnya ku cinta. Karena bagimu aku hanyalah benalu, sedangkan bagiku kau lebih dari sekedar bintang di langit. Selain susah digapai, kau juga susah untuk ku miliki." -Argantara *** Start, 23 Januari...