Suasana kini senyap, semua terdiam. Hanya isakan dari Indah yang terdengar. Dirga segera membawa Indah pergi keluar untuk menenangkannya, pasti itu menyakiti hatinya.
Tante Mira menatap seisi rumah, lalu berhenti kepada seseorang yang kini tengah memiliki jantung anaknya. "Nak, Arga. Tante adalah Mama kandungnya, Meyra. Ini memilukan untuk kita semua, tapi kita harus ikhlas. Tante rencananya mau balik ke New York, tapi perasaan Tante masih belum tenang kalau belum menyampaikan ini semua."
"Menyampaikan apa, Tante? Meyra-nya mana? Kenapa gak ikut Tante?" Arga kalut dengan pikirannya, ia benar-benar diselimuti rasa khawatir.
Mamanya Arga mengelus pelan punggung Arga, "Tenang, Nak. Biarkan Tante Mira menjelaskan semuanya."
Tante Mira membuang nafas panjang sebelum akhirnya melanjutkan bicaranya. "Meyra sebenarnya anak yang ceria, ia menjadi acuh dan dingin sebab kami orangtuanya. Tante sama Papanya Meyra memaksakan begitu banyak kehendak yang Meyra sendiri tidak mau. Menyebabkan ia acuh pada orang disekitarnya. Tante baru menyadari semuanya sekarang, dan penyesalan selalu datang diakhir. Dan gak ada yang bisa ngerubah takdir yang udah terjadi sekarang."
Air mata yang sedari tadi Tante Mira tahan kini lolos satu persatu, ia mengelus dadanya pelan, jujur ia takut tak bisa melanjutkan ceritanya. Begitu sedih hatinya. "Sebulan yang lalu Tante balik ke sini, Meyra dalam keadaan kalut dia menjelaskan, dia menceritakan semua kepedihannya, semua rasa sakitnya. Semua yang selama ini ia pendam seorang diri. Sampai akhirnya Meyra pingsan dan dilarikan kerumah sakit, rumah sakit tempat kamu dirawat juga, Ga. Dokter bilang, gak ada harapan. Kanker otak yang diderita Meyra sudah mencapai stadium akhir. Bahkan respon dari tubuhnya Meyra sendiri menolak untuk bangkit. Pada akhirnya dua minggu yang lalu Meyra menghembuskan nafas terakhirnya disana."
Kini tangisan semua pecah, Arga mematung untuk waktu yang cukup lama. Matanya hanya berkaca-kaca, ia benar-benar tidak menyangka semua ini nyata.
"Sebelum Meyra meninggal, dia sempat bilang kalau jantungnya akan ia donor kan kepada seseorang yang ia cinta. Tante gak nyangka ternyata seseorang yang Meyra maksud itu kamu, Arga. Tante gak bisa apa-apa, sekuat apa pun Tante mencoba meyakinkan Meyra untuk sembuh, ia selalu menggeleng kepala sambil tersenyum. Tante minta maaf, cuma ini yang bisa Tante sampaikan. Setidaknya Tante bisa balik ke New York dengan hati yang tenang."
Tante Mira bangkit dari duduknya, ia berjalan pelan menghampiri Arga yang masih syok tidak percaya sambil membawa selembar surat bewarna putih ditangannya. "Ini surat yang ditinggalkan Meyra untuk kamu, Tante gak bisa berlama-lama karena sebentar lagi Tante mau berangkat. Nak, Arga..." Kini Tante Mira menatap serius, Arga mendongak paksa menatap Tante Mira dengan matanya yang kini mulai perih dan memerah. "Nak, Arga kuat, ya. Jaga jantung yang kini ada bersama Arga. Hargai pemberian Meyra dengan baik. Sehat-sehat ya, Nak. Mari semua."
Tante Mira pamit, ia tak sanggup berlama-lama dengan kesedihan ini. Ia mengusap air mata di pipinya dan keluar dari rumah Arga.
***
Sebulan telah berlalu, pasca kedatangan Tante Mira yang membawa kabar sedih. Semenjak itu semua berubah, Arga lebih pendiam dari sebelumnya. Ia banyak mengunci diri dikamar. Selalu duduk ditepi kasur, menatap dengan tatapan kosong keluar jendela. Tentu saja, kabar sebulan yang lalu menjadi suatu yang sangat memilukan bagi semuanya. Termasuk Arga.
Ia menggenggam surat dari Tante Mira yang diberikan kepadanya sebulan yang lalu. Ia belum berencana membacanya, apalagi membuka isi suratnya.
Ia takut, ia bimbang, ia bingung. Ia sedih untuk waktu yang sama.
Takdir berkata lain, ia pikir ia yang akan pergi. Tapi nyatanya, malah Meyra yang berkorban untuk dirinya.
Dengan berat hati, dan rasa penasaran yang kuat Arga membuka kertas yang mulai tampak usang itu. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Ia membaca satu persatu tiap kata yang Meyra tulis dengan tulisan cantiknya itu.
Hai, Argantara. Surat ini aku tulis saat hadirku hanya tersisa sedikit untuk melihatmu. Apakah aku marah? Apakah aku sedih? Tentu, tidak. Karena Allah masih ngasih waktu buat aku ngeliat kamu walau dari kejauhan. Tau gak, aku senang banget kenal sama orang se-sabar kamu. Kalau di kehidupan selanjutnya ada, dan aku dalam bentuk orang lain, kuharap kita benar-benar berjodoh. Dan tak di persulit untuk sekedar saling mencintai.
Maaf, aku belum bisa buat kamu tersenyum. Hanya kamu yang selalu sabar sama sikap aku, dan selalu bikin aku bahagia walupun aku selalu nyakitin perasaan mu karena terpaksa. Maaf untuk segala hal yang belum kita lakuin bareng-bareng kayak pasangan yang lain. Maaf, cuma itu yang bisa aku ucapkan.
Aku kira waktu gak adil untuk kita, ternyata aku salah, Ga. Waktu adil kok, cuma aku aja yang salah sangka. Buktinya, aku sekarang sedekat ini sama kamu. Kita menjadi satu dalam detak jantung yang sama. Makasih, Ga. Aku mengerti arti cinta yang benar-benar tulus darimu, arti sabar serta ikhlas dalam segala hal. Aku ikhlas, Ga. Kamu juga harus ikhlas.
Aku harap kamu baca surat ini saat kamu mendapatkan kebahagiaan yang lebih indah dari sebelumnya. Semoga kita bertemu di tempat yang paling indah kelak. Sampai jumpa, Arga. Terimakasih untuk semuanya.
Tangisan Arga pecah membanjiri pipinya, ia memeluk erat surat dari Meyra beserta memegang jantung yang kini berdetak di dadanya.
Dia bangkit dari duduknya, mengusap pelan sisa air matanya, benar kata Meyra ia harus ikhlas. Dia menjadi sedekat ini dengan Meyra. Jadi Arga harus bahagia, agar Meyra juga ikut merasakan kebahagiaannya.
Ia tersenyum lebar menatap langit yang begitu cerah pagi ini. Ia memutuskan untuk bangkit perlahan.
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga & Cinta Pertamanya [SELESAI]
Teen Fiction"Kau tak sepantasnya ku rindu, kau bahkan tak sepantasnya ku cinta. Karena bagimu aku hanyalah benalu, sedangkan bagiku kau lebih dari sekedar bintang di langit. Selain susah digapai, kau juga susah untuk ku miliki." -Argantara *** Start, 23 Januari...