35 | King of Club

8.3K 1.7K 161
                                    

Candra terbangun tanpa kehadiran Jannah di sisinya.

Lelaki itu lalu terduduk, membiarkan selimut yang sempat menutupi dada telanjangnya terjatuh hingga ke pinggul. Candra tahu, Jannah akhir-akhir ini semangat membuatkan sarapan untuknya. Hanya saja...

Candra lebih suka menemukan Jannah masih tertidur dan memudahkan ia untuk mengunci perempuan itu dalam pelukan. Bukan tanpa alasan Candra melakukannya. Ia belakangan sedang merasa ada jarak antara dirinya dan Jannah. Terlebih, ia juga beberapa kali masih dihantui oleh mimpi Jannah yang pergi darinya.

Atau memang Jannah tengah menjauhinya?

Candra mengusap wajahnya, frustrasi. Ia memang merasa jika Jannah tidak lagi membiarkan ponsel perempuan itu tergeletak sembarangan. Bahkan saat tertidur, Jannah menyimpan benda pipih tersebut di dalam tasnya.

Something fishy going on.

Candra pun bangkit dari ranjang. Tidak lupa ia mengenakan kausnya terlebih dulu sebelum memutuskan untuk menghampiri Jannah di dapur. Hari ini dirinya berniat untuk meliburkan diri, sebagaimana yang ia telah sampaikan pada Nia semalam. Candra ingin meluangkan waktu lebih lama dengan Jannah karena ia merasa hubungan keduanya tidak lagi intens.

Masih dengan piyama kimononya—berhubung ia lebih suka masak dulu baru mandi, sebab prinsipnya adalah tidak boleh meninggalkan aroma bawang sedikit pun pada tubuhnya—Jannah merasakan sepasang lengan yang besar melingkar di perutnya.

Sontak, perempuan itu menoleh sekilas dari balik bahu. "Oh, kamu udah bangun. Makanannya belum siap."

Candra tidak menjawab. Ia hanya menikmati posisinya. Memeluk Jannah dari belakang dan membenamkan wajahnya pada rambut panjang Jannah. Perempuan itu terkadang mencatok rambut hingga lurus, terkadang juga membuatnya lebih bergelombang dan bervolum. Namun, gaya rambut sang istri yang paling Candra suka adalah saat-saat seperti ini. Berantakan, tampak sedikit kusut, tapi justru semakin menarik.

"Candra?"

"Hmm?"

"Bisa lepas? Gerak aku terbatas kalau kamu nggak minggir."

Tidak ada nada ketus. Intonasinya pun terbilang biasa saja. Lantas, mengapa Candra merasa tersinggung? Akan tetapi, lelaki itu berusaha memaklumi dan tidak menganggap serius. Mungkin karena Jannah memang sedang ingin fokus memasak, bukan karena perempuan itu tidak ingin berdekatan dengannya.

Mengalah, Candra menarik diri. Ia ingin berbalik badan, melangkah pergi saat suara Jannah menghentikannya.

"Mau ke mana?"

Candra mengernyit. "Bukannya kamu yang pengin aku menyingkir?"

Jannah mendengus. "Aku bilang minggir. Bukan ngusir kamu. Kenapa deh tiba-tiba sewot gitu?"

"Aku nggak sewot." Candra mengembuskan napas. "Maaf. Aku mungkin lagi sentimental. Aku ngerasa, kita lagi berjarak."

"Oh iya? Perasaan kamu aja," ucap Jannah tanpa melirik Candra sedikit pun.

Candra manggut-manggut. Hatinya memang berharap jika pernyataan Jannah adalah benar. "Kamu bisa nggak ke butik dulu hari ini? Aku hari ini free."

"Ada apa?" Jannah menoleh dari balik bahunya. "Aku baru tahu kalau dokter bedah juga bisa libur seenaknya."

Lelaki itu hanya tersenyum simpul, tidak menanggapi Jannah dengan serius karena bukan itu inti dari percakapan ini. "Aku pengin kita ngehabisin waktu bareng seharian."

"Aku nggak bisa," tolak Jannah. Datar tapi tegas. "Aku ada janji."

Jantung Candra berdegup cepat mendengarnya. "Penting?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 16 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

House of Cards #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang