"Kepintaran seseorang tidak diukur dari secoret nilai pada kertas ulangan, dan nilai hanyalah angka yang sewaktu-waktu bisa berubah."
~Deonaro Rean Grahasha~
------------------------------------------------------------------------------
Ketika kita mendengar kalimat. "Biar gimanapun mereka tetap orang tuamu, mereka baru pertama kali menjadi orang tua."
Bukankah seorang anak juga baru pertama kali menjadi anak? Lantas mengapa tak pernah terdengar kalimat "Biar bagaimanapun mereka anakmu."Mengapa sebagai anak kita dituntut mengerti bahwa mereka (orang tua) punya waktu lelahnya, wajar melampiaskan pada anaknya, wajar mengacuhkan anaknya.
Apakah anak tidak ada waktu lelahnya? Apa seorang anak tidak boleh lelah karena sering mengeluh lelah?
"Kamu cape apa sih jadi anak?"
Anak pun memiliki bebannya, seorang anak pun sesekali ingin dimengerti. Apakah kita baru bisa dimengerti saat kita sudah menjadi orang tua? Salah satu kalimat lain yang sering diucapkan oleh mereka.
"Kamu akan mengerti ketika kamu menjadi orang tua."
Apakah itu artinya aku tidak akan mengeri sampai kapan pun, karena sejak kalimat ini sering terucap dari mulut mereka aku semakin takut menjadi orang tua. Takut jika nanti aku akan menciptakan sosokku jiwa yang lain. Dan karena itu aku tahu menjadi sosok sepertiku bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan.
Itu yang selalu Teena rasakan, disekolah ia selalu disibukkan dengan kegiatan OSIS nya begitu juga jika dirumah, semua pekerjaan rumah akan beralih padanya. Ia mengeluh lelah pun selalu dianggap masalah oleh kedua orang tuanya.
Orang taunya hanya bekerja sepanjang hari tanpa tahu apa pun yang Teena lakukan, Teena paham dirinya bukan seperti Angga yang dulu selalu mendapat juara kelas, yang selalu menjadi kebanggaan mereka.
Teena mengehela nafasnya, ia melirik jam dinding dikamarnya. Masih pukul tujuh malam, Teena beranjak dari duduknya untuk mengambil makanan didapur.
"Udah abis?" ia meringis melihat meja makan yang telah kosong. Padahal tadi ia telah masak lumayan banyak, ia juga sempat menyisakan satu porsi makanan untuknya. Tapi tunggu, dimana makanannya?
meong
"Anjir, ngagetin aja lo!" Teena melirik sinis kucing didekatnya. Jujur saja, ia sedikit takut dengan kucing. Itu adalah kucing kakaknya, karena terlalu sering berinteraksi Teena jadi sedikit lebih berani.
meong
"Ck! Mau apa si? Minta makan ama bapak lo sono, ganggu aja gue laper. Minggir!" Usirnya kesal. Bukannya pergi, kucing tersebut malah berjalan mendekati Teena, kucing itu mulai bergelayut manja di kaki Teena membuat Teena risi.
"Lo ngapain si ih!?" Teena tak sengaja menendang kucing tersebut hingga terpental sedikit jauh. Angga yang baru saja datang pun melotot melihat kucingnya ditendang adiknya.
"Bangsat! Lo apain kucing gue!?" bentaknya sembari menatap Teena tajam. Angga langsung menggendong kucing tersebut dan mengelusnya pelan.
Teena memutar bola matanya malas. "Kucing lo tuh, ga jelas banget." cibirnya. Teena berjalan mengambil telur di kulkas, cewek itu akan menggoreng telur untuk makan malamnya.
"Lo laper? tadi kan udah gue kasih makan, ada ayam nya juga kan? enak tuh!" ujar Angga lembut. Cih, pada adiknya sendiri tak pernah sehalus itu.
Teena yang mendengar itu pun membalikkan tubuhnya menatap Angga. "Owh, jadi lo yang kasih makanan gue ke kucing sialan lo itu?" tanyanya.
Angga melirik Teena sekilas. "Bacot lo!"
Teena berdecih. "Coba aja gue jadi kucing kaya kucing kesayangan lo itu, mungkin lo bakal bersikap lembut juga ya?"
Gerakan tangan Angga yang mengelus kepala kucing tersebut langsung terhenti.
"Gue bahkan dari pagi loh belum makan, gue yang siapin gue juga yang ngga kebagian. Bahkan dari kemaren loh gue cuman makan sekali doang." Teena menatap Angga lekat.
"But, nggak ada yang peduli sama sekali sama gue. Padahal lo juga tahu gue punya asam lambung---"
"Lo minta gue kasihanin lo? Sengaja kan lo nggak makan, supaya sakit, supaya gue, mama dan papa perhatian sama lo gitu? Supaya lo bisa bolos sekolah, enak-enakan dirumah sakit, iya?" tuduhnya.
Teena menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Gue nggak semenyedihkan itu untuk ngemis-ngemis perhatian lo semua!"
"Tapi lo emang paling menyedihkan! Semingguan ini lo pulang malem terus ngapain gue nanya? Ngejalang iya? Cari om-om buat biayain hidup lo iya?"
PLAK!
"Jaga omongan lo bajingan!" teriak Teena marah. Angga menyeka ujung bibirnya yang berdarah akibat tamparan Teena barusan.
"Gue emang nggak pernah dapet kasih sayang dari kalian, tapi bukan berarti gue relain tubuh gue buat laki-laki brengsek kaya lo!"
"Gue adik lo bukan si?" tanyanya sembari menatap Angga dengan tatapan benci. Angga membuang wajahnya.
"Gue adik lo tapi apa pernah lo sayangi gue? Apa pernah lo perhatian ke gue? Lo itu buta! Lo liat gue selalu dijadiin samsak sama mama papa padahal itu bukan sepenuhnya salah gue tapi lo diam aja, lo selalu diem aja!"
"Lo tuli! Lo nggak pernah mau dengar penjelasan gue tiap gue mau jelasin gue habis ini habis itu, gue ada kegiatan ini itu. Lo tuli! Lo denger tangisan gue setiap malem karena ulah kalian semua tapi lo pura-pura nggak tahu!"
"Lo selalu dijadiin yang pertama, lo jadi kebanggaan, selalu dipamerin sana-sini. Sedangkan gue? Jadi babu dirumah! Seandainya mama papa nggak sayang gue, seenggaknya ada lo sebagai kakak yang sayang gue, yang siap pasang badan saat mereka pukul gue, tampar gue, tapi lo apa? Bahkan keberadaan gue aja nggak lo anggap Ngga! Kakak macam apa lo!?'
"Gue cuman pengen kaya mereka yang bisa akur sama saudaranya, saling sayang dan jaga. Tapi kayanya cuman mimpi."
"Kalian semua egois, cuman mikirin harta dan kesenangan kalian doang. Sama kaya lo! Bisanya nuduh segala macem, bisanya marah-marahin gue, kata-katain gue. Bahkan tadi lo katain gue ngejalang, serendah itu kah gue di mata lo?"
Teena mengusap air matanya kasar. "Apa kalo gue mati kalian bakal peduli?"
PLAK!!!
"Jaga omongan lo, anjing!" Teena terkekeh sinis, ia mengelus pipinya pelan.
"Bahkan sekarang lo nampar gue Ngga. Oh iya, lo inget nggak waktu itu lo hampir bunuh gue? Haha, gue benci sama lo!" ujar Teena menekan kata benci pada kalimatnya sembari menatap Angga nyalang.
Angga menatap kepergian Teena dengan tangan terkepal disamping tubuhnya. Bukan itu maksudnya, ia tidak suka dengan perkataan Teena tadi. Satu hal yang Angga lupakan, cowok itu bahkan pernah hampir membunuh adiknya sendiri bukan?
Angga menggeram marah, apa pantas ia disebut kakak?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
ARLOJI
Roman d'amourIni tentang cerita cinta sepasang manusia. Bisa dibilang, cukup menyebalkan bagi Afsheen Fateena Aqilla, seorang ketua OSIS pada salah satu SMA yang ada di ibu kota. Cewek dingin, jutek, seperti es batu, dan tak tersentuh seperti Fateena harus berha...