♥♥♥
Tepat ketika aku sampai rumah, hujan turun. Perlahan-perlahan berubah jadi deras dan anginnya cukup kencang. Bukannya merasa lega karena sampai di rumah dengan keadaan kering, aku malah ingin menangis. Ada sesuatu yang berkecamuk di dadaku, rasanya begitu menyesakkan. Sampai ketika pintu dibuka oleh seseorang dari dalam membuatku merasa beruntung, akhirnya bisa benar-benar bernapas lega.
"Kenapa nggak langsung masuk?" Mama menatapku, membuatku berpikir, kapan kiranya terakhir kali Mama menyambutku ketika pulang ke rumah. Sudah lama sekali kurasa. "Ayo masuk, dingin, hujannya deres banget."
Mama merangkulku. Tubuhnya hangat, membuatku ingin nangis lagi.
"Udah makan belum?" tanya Mama.
"Mama nggak tanya aku habis dari mana?" Soalnya aku memang nggak bilang sama Mama, karena aku pikir, Mama pasti belum pulang saat aku pulang dari pesta ulang tahun Askila. Aku cuma bilang sama Bang Theo. Apa Bang Theo yang ngasih tahu Mama?
"Tadi ... kebetulan Mama ketemu sama Ria di luar, terus Ria bilang kalau abangnya pergi ke pesta sama kamu."
Aku tersenyum kecil. "Ada temen aku yang ulang tahun hari ini, aku sama Yardan diundang. Maaf aku nggak ngasih tahu Mama."
"Nggak apa-apa. Kamu kan perginya juga sama Yardan." Ya ... Yardan memang selalu jadi yang terbaik dalam menjagaku, setelah Bang Theo tentu saja. "Jaketnya Yardan?" Mama melirik ke arah jaket jins yang menempel di tubuhku. Mama tahu kalau itu bukan jaketku melihat ukurannya yang kebesaran di tubuhku. Dan aku jelas nggak mungkin sengaja bawa jaket seperti ini, jika Mama menyangka itu milik Bang Theo.
Aku menggeleng. "Bukan. Punyanya Raje."
"Oh ... oke." Mama kelihatan nggak mau membahas lebih lanjut. Dia tahu aku pacaran dengan Raje, dan dia juga tahu aku sudah putus dengan Raje. "Ya udah, mau Mama bikinin susu anget?"
Kali ini aku mengangguk seraya memberikan senyuman kecil. Kemudian pergi meninggalkan Mama menuju kamarku di lantai atas dengan langkah yang begitu berat dan perasaan yang begitu berantakan.
Jaket wangi ini tentu saja nggak secara tiba-tiba berada di tubuhku, ada perang adu mulut yang terjadi antara aku dan Raje di pesta tadi. Pertengkaran yang bahkan nggak pernah terjadi ketika kami masih menjalin hubungan dulu. Pertengkaran yang membuat berantakan perasaanku, membuat hati ini berkecamuk.
"Aku udah tanya soal itu ke Marsha," Raje berujar padaku setelah dia akhirnya berhasil membawaku menyingkir dari kerumunan, meninggalkan acara inti, yaitu bagian saat Askila akan meniup lilin ulang tahunnya. "Kayak yang aku bilang, Marsha sama sekali nggak ada hubungannya sama akun gila itu." Dia berdecih. "Itu hal paling konyol yang pernah aku denger, Gi. Maksud aku, soal kamu yang nuduh."
"Aku nggak tahu kalau kamu masih mikirin itu. Maaf ...." Aku menunduk. "Apa aku harus minta maaf juga sama dia?"
"Gi, aku tuh nggak suka sama Marsha, dan Marsha juga begitu. Kami temenan, sama kayak kamu dan Yardan." Raje kembali meyakinkan aku soal itu, membuktikan bahwa sampai detik itu dia masih nggak terima dengan alasan yang aku buat untuk mengakhiri hubungan kami. "Kalau kamu sama Yardan udah temenan dari kalian masih bayi, aku sama Marsha temenan dari kami masih SD, kami satu sekolah terus setelah itu. Kamu udah tahu itu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gigi dan Para Bintang
Roman pour Adolescents[SELESAI] Bintang membuat malam gelap Gigi lebih bersinar dari biasanya. Bintang membuat langit hitam Gigi lebih gemerlap dari biasanya.