Karena kemarin berhasil mendarat sempurna di kamar Yardan, maka hari ini juga kami sudah sempurna kembali seperti biasa. Yardan menungguku sampai aku kelar sarapan—yang untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Mama ikut sarapan denganku. Aku sempat heran sih karena Mama tidak biasanya begitu. Dia tidak memegang ponsel dan mengecek jam tangan berkali-kali, seperti benar-benar menikmati sarapan denganku.
Apa ini ada hubungannya dengan kejadian malam itu? Saat aku menangis di pelukannya? Kalau begitu, aku harap Mama nggak merasa bersalah karena dia mungkin merasa kalau aku kurang perhatian darinya. Tapi aku juga agak berharap Mama jadi lebih perhatian padaku.
Gimana, ya ....
Eum ... intinya, aku mau Mama lebih perhatian lagi padaku, tapi nggak mau juga dia merasa bersalah pada apa yang terlah terjadi—tentang kesibukannya dan juga tentang perceraiannya.
Yardan hampir akan mengomel ketika aku keluar dari rumah dan mendapati dia sudah nangkring di motornya, mendelik sebal. Tapi nggak jadi setelah melihat Mama keluar nggak lama setelahku.
"Eh, Tante," sapanya sok manis. "Tumben belum berangkat." Aku juga berharap itu bukan sindiran.
Mama hanya tersenyum, berharap itu nggak menyinggungnya. "Seger banget kayaknya," Mama malah membahas hal lain.
Yardan dengan gerak sok gantengnya merapikan dasi dan menggerakan bahu dengan jumawa. "Iya, dong, Tante. Udah mandi soalnya."
Aku mendengkus. Memutar bola mata dengan malas.
"Kayaknya hari ini nggak akan hujan, ya. Kalau ngelihat cuaca pagi ini yang ada matahari, udah seminggu lebih hampir nggak ketemu matahari soalnya."
"Iya nih, Tante. Bahaya kalau hujan terus, Gigi bisa jadi mermaid."
Dan aku hampir menaboknya. Tapi melihat tawa Mama yang saat itu tercipta membuatku termenung. Apa aku sudah terlalu nggak berbincang dengan Mama dalam waktu lama makanya lupa kalau aku nggak pernah lihat Mama tertawa lagi?
Apa jarak yang sudah kami ciptakan begitu jauh?
Percakapan itu harus usai ketika taksi Mama sudah tiba, aku dan Yardan pun langsung berangkat. Kami hampir telat karena kemacetan di jalan, dan akhirnya Yardan berhasil mengomel padaku.
"Lo, sih!" katanya. "Gue belum ngerjain PR Bahasa, tahu?"
"Bahasa apa?" tanyaku sok tidak peduli seraya melepas kaitan helm.
"Bahasa Indo, lha. Emangnya hari ini ada pelajaran Bahasa Inggris?"
"Lho, bukannya hari ini Bahasa Inggris?"
"Bahasa Indo," Yardan meyakinkan. "Semalem ue udah minta Yoga buat ngasih gue sontekan PR Bahasa Indo. Jadi hari ini nggak ada Bahasa Inggris. Bahasa Inggris tuh—Gi! Lo denger gue nggak?"
Napasku sudah tertahan sejak membuka ponsel dan mendapati satu notifikasi dari akun Instagram anonbitch yang baru saja mengunggah satu video baru, video berdurasi pendek. Tanganku gemetar hingga ponsel yang aku pegang jatuh.
"Gi ...." Yardan bergerak mengambil ponsel itu. Dan tentu saja, dia melihat apa yang sedang ditampilkan di layar.
Video itu sedang menunjukkan sepasang remaja yang sedang berciuman. Dari angle pengambilan gambarnya, terlihat seperti ciuman yang hebat. Atau itu diedit lagi agar tercipta gerakan yang begitu? Karena setahuku, Raje nggak begitu. Aku nggak merasa Raje menciumku begitu.
Iya, perempuan yang ada di video itu adalah aku. Dan laki-laki yang menggerakan tangannya di punggung dan rahangku adalah Raje. Aku ingat Raje begitu, tapi apa yang ditampilkan di video itu begitu berbeda, terlihat agak berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gigi dan Para Bintang
Dla nastolatków[SELESAI] Bintang membuat malam gelap Gigi lebih bersinar dari biasanya. Bintang membuat langit hitam Gigi lebih gemerlap dari biasanya.