[2] Gigi dan Jaket Jins

825 149 21
                                    

♥♥♥

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

♥♥♥

Aku dan Raje pernah berpacaran. Delapan bulan dua puluh satu hari, alias kalau ibu hamil pasti sudah melahirkan. Atau kalau diibaratkan dengan hubunganku bersama Raje, sebelum si ibu melahirkan, Tuhan lebih dulu mencabut nyawa si anak ketika masih di dalam perut. Mengerikan sekaligus menyedihkan. Dua kata itu pun menggambarkan hubungan kami.

Aku dan Raje putus empat bulan lima hari yang lalu, lewat pesan singkat yang aku kirim di pukul delapan lewat dua puluh menit malam. Dan meski sudah putus, dia masih terang-terangan mendekatiku, apalagi jika melihat kalau aku sedang tidak bersama Yardan—seperti hari ini, Raje seolah seperti singa kelaparan yang diberi makan. 

Meski tanpa kata, semua orang pasti tahu kalau dia cowok gila yang nggak terima aku putusin. Dan kayaknya dia tidak peduli oleh omongan orang-orang terhadapnya, karena kenyataannya Raje memang secara terang-terangan berkata padaku kalau dia tidak terima hubungan kami berakhir.

Tapi ya mau gimana lagi? Aku tetep tidak mau pacaran dengan cowok yang berkali-kali jalan mesra—menurutku begitu—dengan seorang perempuan yang sama. Dan itu bukan aku.

"Aku nggak selingkuh, Gi," dia berkata begitu, saat aku tanya apa hubungan dia dengan perempuan bernama Marsha—aku dan Yardan biasa memanggilnya Masha, dan Yardan suka manggil Raje dengan Beruang, padahal dia tidak besar dan ... berbulu. Kayaknya. 

"Aku sama Marsha cuma temenan, sama kayak kamu sama Yardan. Kami cuma temen," dia memberi alasan lagi di hari kelima kami resmi putus. 

"Aku sama Yardan nggak sesering itu jalan berdua ke mal atau taman hiburan lain, nonton bioskop berdua, belanja bareng. Yardan juga nggak sesering itu nganter aku beli perintilan cewek di store. Dan yang paling penting, Yardan nggak pernah nganterin pembalut buat aku ke toilet cewek di sekolah." 

Saat itu dia hanya mengembuskan napas panjang sebelum menjambak rambutnya pelan. Lalu meninggalkanku di kelas yang sepi—kami berbicara di kelasku setelah sekolah bubar—membuatnya terlihat seperti cewek menyedihkan yang menatap punggung laki-laki yang masih disayangnya menjauh. 

Untung hari itu musim kemarau, panasnya masih begitu terasa kencang di luar meski jarum jam sudah bergerak menunduk. Coba saja kalau sedang hujan, bisa-bisa di saat hujan seperti ini aku akan masuk ke daftar orang yang jadi melankolis ketika hujan turun.

Tapi meski begitu, hujan dan dengan tidak adanya Yardan saat ini membuatku merasa sedikit senang karena Raje menghampiriku. Walau kedatangannya nggak cuma membawa tubuh dan aroma parfumnya yang sialnya enak banget, tapi juga kenangan kami.

"Yardan ke mana?" Raje bertanya dari kubikel samping. Tidak peduli aku yang sudah kembali menelungkup dan menjatuhkan kepala ke buku Persiapan UTBK dengan posisi membelakanginya. "Nggak masuk lagi?" Dia tahu kalau aku tidak sepenuhnya tidur. Lagi pula siapa yang bisa tidur setelah keributan kecil yang terjadi tadi?

Gigi dan Para BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang