[20] Gigi dan Kebingungan

413 94 2
                                    

Sudah dua hari aku tidak keluar rumah, tidak masuk sekolah juga, dan dua hari juga Mama menghabiskan waktunya untukku, benar-benar untukku. Dia tidak ke kantor, bangun pagi-pagi untuk membuatkanku sarapan dan kami sarapan bersama di meja makan. Rumah yang biasanya aku yang merapikan setiap sudutnya, kali ini Mama yang memegang semua pekerjaan rumah. Masak untuk makan siang dan makan malam, duduk di ruang tengah untuk menonton televisi. Meski begitu, ponselnya tetap tidak lepas dari genggaman.

Aku senang sekaligus sedih. Senang karena Mama akhirnya punya banyak waktu bersamaku daripada sekadar membuatkan sarapan setiap pagi, tapi juga sedih karena hal ini pasti dilakukan demi menebus rasa bersalahnya padaku.

Aku dan Mama juga pergi ke supermarket bersama, belanja bersama, dan itu sungguh menyenangkan dilakukan ibu dan anak. Mama mengajakku ke pasar ikan hias—akhirnya aku memutuskan untuk beli satu lagi ikan untuk menemani Bebek, yang aku beri nama Ayam.

Setelah dua hari kami menghabiskan waktu bersama berdua, akhirnya hari ini kami akan kembali ke kesibukan masing-masing. Mama pada pekerjaannya yang ditinggal dan menumpuk karena cuti mendadak, dan aku pada sekolahku, yang artinya aku harus menghadapi kenyataan perihal akun Instagram gila yang selama dua hari ini aku lupakan dan belum menemukan titik terang meski aku sudah yakin sekali dalangnya adalah Askila.

Awalnya Mama ingin menemui guruku di sekolah untuk membicarakan hal ini, tapi aku melarangnya. Aku mengatakan ini bukan masalah besar, aku bisa mengatasinya sendiri. Dan soal Askila dan Om Roy, aku meminta Mama untuk tidak membicarakan itu, termasuk memberitahu Om Roy perihal kebenaran yang terjadi di resto. Entahlah, rasanya aku nggak bisa melibatkan Mama dalam hal ini lebih jauh, apalagi ini menyangkut hubungan asmara Mama.

Walau begitu, Mama berkata padaku, "Mama sama Om Roy cuma temenan, Gi. Ya ... kami emang ngaku saling nyaman satu sama lain, saling dukung satu sama lain, tapi kamu tahu orang dewasa gimana memulai hubungan, kan? Nggak kayak kamu sama Raje, Om Roy nggak pernah ngajak Mama pacaran, kami nggak gitu. Kami cuma ... ngejalanin apa yang kami rasain. Dan kalau Mama ngerasa hubungan ini nggak baik buat kamu, Mama akan menyudahinya. Ini bukan cuma tentang Mama, Gi. Tapi tentang kamu sama Abang juga. Kalian anak Mama."

Padahal baru dua hari aku nggak sekolah—tiga hari kalau menghitung waktu aku bolos sebelumnya—tapi rasanya aneh sekali menyentuhkan kaki kembali ke sekolah. Entah kenapa rasanya semua orang masih menatapku sebegitunya, sama seperti ketika pertama kali video itu tersebar. Aku terus berjalan menunduk dari parkiran sampai kelas, sampai Yardan menegur.

"Lo nyari apaan sih, Gi? Koin? Kagak ada!" begitu katanya ketika dia sebal melihatku tidak mengangkat kepala selama berjalan di sampingnya. "Lo grogi ya karena udah lama nggak jalan samping gue?" lalu dia meledek, membuatku akhirnya mendongak untuk memberinya tatapan tajam.

"Berisik lo!"

"Lo udah aktifin hape belum, sih?" Yardan menggerutu lagi. Tidak terhitung selama dua hari kemarin dia berapa kali melempari jendelaku dengan batu kerikil koleksinya itu karena nggak bisa menghubungiku lewat ponsel. Aku memang memutuskan untuk tidak mengaktifkan ponselku selama itu, demi tidak merasakan apa yang tidak ingin aku rasakan.

"Emangnya kenapa?" tanyaku.

"Sumpah, lo harus aktifin hape mulai hari ini karena gue muak di-chat sama Raje terus."

"Raje? Sejak kapan lo manggil dia Raje?" Aku menatapnya heran.

Yardan berdecak. "Nggak penting. Yang penting, lo harus aktifin hape, terus hubungin itu cowok biar dia berhenti nge-chat gue karena nanyain kabar lo. Bisa-bisa dia naksir gue lagi." Dia bergidik ngeri, membuatku terkekeh kecil.

"Lo ada apa-apa ya sama Raje?" Aku menatapnya curiga, sekaligus penasaran. 

"Ada apa-apa apaan, sih? Nggak jelas lo." Kelihatan sekali kalau Yardan sedang menyembunyikan sesuatu dariku. 

Gigi dan Para BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang