Kedatangan Bang Theo ke rumah bukan hanya mengurusi perkara aku yang bolos hari ini-yang entah kabarnya dia dapat dari mana, karena nomor itu nggak jelas siapa pengirimnya dan dihubungi kembali pun sudah tidak aktif. Tapi Bang Theo ke rumah juga untuk menyampaikan pesan Mama yang katanya cukup penting, sebab seharian ini aku nggak bisa dihubungi, membuat Mama khawatir.
Katanya, Mama mengajakku makan malam di luar hari ini, dan aku disuruh pakai pakaian yang rapi. Namun ketika aku tanya ada apa, Bang Theo tidak memberitahu, katanya dia juga nggak tahu soal itu.
"Nggak penting ada apa Mama ngajak makan di luar, bukannya kamu udah lama nggak makan malem sama Mama? Di luar pula," Bang Theo malah berujar begitu. Dan aku memang mengiakan hal tersebut.
"Terus Abang ikut, kan?"
"Nggak bisa. Abang udah ada janji sama Ara hari ini. Mau ngurusin soal akun itu juga sama Joni pulangnya."
Aku kecewa. "Abang ...," rengekku. "Masa aku doang berdua sama Mama? Abang harus ikut dong. Ini makan malam keluarga, kan?"
Bang Theo menarik napas panjang. "Mama pengin berdua aja sama kamu. Bukan berarti Mama nggak suka sama Abang, jangan mikir yang aneh-aneh. Tapi Mama emang ... mau ngomong sesuatu sama kamu, katanya. Jangan tanya apa, karena Mama bakal jelasin itu nanti."
Aku mendesah. Penasaran tapi nggak memutuskan bertanya, sebab aku tahu, sekeras apa pun aku mengungkapkan rasa penasaranku pada Bang Theo, dia tidak akan memberitahu apa-apa. Dan nantinya aku bakal kelelahan sendiri. Jadi, lebih baik diam.
"Kamu harus udah siap sebelum Mama pulang. Katanya, Mama pulang cuma buat ganti baju habis itu langsung berangkat." Aku kesal, di saat seperti ini pun Mama masih gila dengan pekerjaannya.
"Mama bilang, kamu mau ikan baru?" tanya Bang Theo sebelum dia pergi meninggalkan rumah. "Kalau mau, habis Abang selesai UAS nanti kita ke pasar ikan hias, kamu bisa pilih ikan sendiri."
"Aku nggak tahu Bebek bakal suka atau nggak punya temen."
"Pasti suka. Dia malah kesepian kalau sendirian gitu. Kamu juga suka kesepian, kan?" Jangan bilang Bang Theo tahu hobiku yang suka ngomong sama Bebek kalau lagi bosan. "Ngomong-ngomong, Yardan ke mana? Rumah sakit?"
Aku mengangkat bahu. "Nggak tahu. Aku belum ketemu dia dari pagi tadi."
"Coba ditelepon."
"Aku nggak niat nyalain hape sampai besok. Mau aku umpetin aja hapenya."
Bang Theo berdecih. "Yakin bisa hidup tanpa hape?"
"Aku masih punya list film yang belum ditonton, ya. Jadi mau nonton film aja."
"Oh, jadi lebih baik nonton film daripada belajar buat ujian?"
Ups, ketahuan.
Aku nyengir. "Udah deh, nanti coba aku tanya Ria kalau ketemu. Lagian, paling juga bentar lagi dia pulang."
Bang Theo tiba-tiba menatapku lurus dengan tatapan sendu. "Yardan bilang sama Abang kalau dia mulai membaik, kamu jangan terlalu banyak khawatir."
"Aku lagi nggak butuh dihibur," kataku, walau di sudut kecil hatiku, berteriak kegirangan kalau ucapan Bang Theo barusan adalah benar, bukan kalimat penghibur semata.
"Abang serius. Bulan lalu dia bilang sama Abang." Dan tatapan Bang Theo memang serius. "Ini masih rahasia sebenernya, dia ngelarang Abang buat ngasih tahu kamu. Dia nggak mau ngasih tahu kamu sebelum bener-bener sembuh. Tapi ... kayaknya kamu berhak tahu."
"Serius?"
Bang Theo mengangguk dan tersenyum.
"Tapi dia akhir-akhir ini jadi lebih sering ke rumah sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gigi dan Para Bintang
Teen Fiction[SELESAI] Bintang membuat malam gelap Gigi lebih bersinar dari biasanya. Bintang membuat langit hitam Gigi lebih gemerlap dari biasanya.