[19] Gigi dan Bintangnya

453 103 6
                                    

Aku nggak tahu berapa lama terjebak di dalam toilet ini, mungkin lima belas menit, dua puluh menit, atau mungkin setengah jam. Aku nggak tahu pastinya. Yang jelas, begitu seorang petugas resto membukakan kunci, dia hanya menatapku datar tanpa mengatakan apa pun, tanpa kata iba atau panik melihat pelanggan restorannya terjebak di dalam toilet dalam waktu yang lama. Itu mengingatkanku pada semua perkataan Askila sebelumnya. Ini pasti dia yang mengaturnya.

Dan semuanya semakin jelas begitu saat aku kembali ke meja dan Mama sudah tidak ada di tempatnya. Aku yang penampilannya sudah kacau akibat menangis dan berteriak menjadi pusat perhatian di tengah resto, membuat petugas keamanan menyeretku secara halus untuk segera meninggalkan resto.

Lagi-lagi ini pasti Askila.

Tapi bagaimana mungkin Mama bisa meninggalkanku saat ini? Apa yang dikatakan Askila padanya sampai Mama tidak mencariku ke toilet dan mengecek keberadaanku? Apa Askila memang sehebat itu dalam mengatur semua hal?

Aku ingin menangis lagi, tapi tak bisa. Air mataku seolah mengering untuk itu. Aku hanya diam di pinggir jalan tanpa tahu harus ke mana. Tak ada ponsel, aku tak bisa menghubungi siapa pun untuk sekarang. Tak ada Mama, tak ada Bang Theo, tak ada Yardan, tak ada Raje, dan bisa-bisanya aku memikirkan Kak Alden yang juga tak ada di sini. Tak ada siapa pun, hanya diriku. Hanya aku.

Pada akhirnya memang benar, di saat-saat tertentu, berapa pun jumlah kenalan yang aku punya, aku hanya punya diri sendiri untuk menyelesaikan semua masalahku.

Dengan sisa-sisa tangis dan kekuatan yang masih ada, aku berjalan menelusuri trotoar jalan. Melangkah agak tertatih karena sepatu dengan tinggi tiga centi ini menyulitkanku. Aku berpikir, apa yang kiranya harus aku lakukan setelah ini? Setelah bertemu dengan Mama. Apa Mama akan percaya apa yang akan aku ceritakan sedangkan saat ini saja dia sudah percaya dengan apa yang dikatakan Askila? Entah apa itu.

Bagaimana caranya memulai bercerita dengan Bang Theo bahwa ini semua—apa yang terjadi padaku hari ini dan beberapa hari belakang tentang unggahan di akun sialan itu, barangkali ada kaitannya dengan Askila, anak Om Roy, cowok yang kemungkinan besar akan Mama nikahi. Bang Theo nggak akan berpikir bahwa aku mengatakannya karena nggak setuju pada pernikahan, kan?

Kepalaku sakit, berdenyut keras, seperti bisa pingsan saat itu juga. Atau mungkin aku akan jatuh tak sadarkan diri kalau seseorang tidak memanggil namaku dan menyadarkanku dengan cepat.

"Gigi?"

Aku mendongak, mencari sumber suara, dan setelah menemukannya perlahan menatap orang tersebut. Lelaki dengan perawakan cukup besar yang berdiri menjulang di hadapanku, menatap dengan kening berkerut.

Tak ada kata yang perlu aku ucapkan untuk saat ini, yang aku lakukan hanya melompat ke pelukannya, pada perut buncitnya yang terasa nyaman.

"Papa ...," lirihku, sebelum akhirnya tangisku kembali tumpah.

"Astaga, Gisela, ada apa?" Papa berujar panik, tentu saja. Meski kami sudah nggak tinggal bersama lima tahun lamanya, Papa tetaplah papaku yang akan khawatir melihat anaknya berada di pinggir jalan sendirian dengan penampilan yang agak kacau, lalu tiba-tiba saja menangis.

Tapi, apa Papa mau menonjok siapa pun yang membuatku menangis tanpa melihat dia siapa, perempuan atau laki-laki, temanku atau bukan, nggak? Karena sekarang, aku ingin sekali menonjok wajah Askila. Aku nggak pernah punya keinginan sebegini besarnya sebelumnya. Tapi untuk saat ini, aku sangat ingin membuat hidungnya patah.

Papa ternyata bersama Yori—bocah kecil, anak Papa dengan Tante Dwi. Yori merengek meminta ayahnya membelikan es krim makanya saat ini kami bisa bertemu di depan minimarket. Aku pernah membencinya, tentu saja. Karena saat Yori lahir, aku merasa Papa nggak pernah lagi perhatian dan memberi kasih sayangnya secara penuh padaku, tapi malam ini ... agaknya aku harus berterima kasih padanya, karena kalau bukan karena dia merengek meminta es krim, aku nggak akan ketemu Papa dan mungkin sekarang masih berjalan tanpa arah di pinggir jalan.

Gigi dan Para BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang