Ternyata, selain punya bakat bercerita dengan baik, Kak Alden juga punya bakat menghibur yang baik.
Tadinya, setelah adegan menangis dan pelukan yang tidak pernah aku sangka akan terjadi, aku pikir Kak Alden akan membawaku langsung ke Bang Theo atau mengintrogasiku karena menangis tiba-tiba tanpa alasan. Ternyata nggak. Kak Alden malah membawaku ke Timezone!
Jadi mula-mula, aku disuruh ganti baju pakai hoodie yang dipakai Kak Alden—Kak Alden sendiri masih pakai kaus lengan pendek di dalamya, dan dia katanya nggak mau melihat aku pakai seragam sekolah. Alhasil, aku pakai hoodie Kak Alden, walaupun roknya nggak bisa diganti dengan celana Kak Alden.
Tapi, apa orang yang sudah kuliahan malu kalau kelihatan jalan sama yang masih sekolah? Soalnya Bang Theo juga pasti nggak suka kalau aku ke mana-mana sama dia masih pakai seragam sekolah.
Pokoknya, setelah berganti baju, Kak Alden mengajakku bermain ini dan itu di Timezone. Saking serunya, kami bahkan nggak peduli dilihat oleh orang-orang di sekitar yang kebanyakan bocah-bocah kecil bersama orangtua atau pengasuhnya karena kami terlihat paling heboh. Dan aku tanpa sadar melupakan sejenak apa yang terjadi di sekolah.
Seperti tidak mengenal kata lelah, setelah mencoba semua mesin permainan, Kak Alden mengajakku ke tempat karaoke. Aku nggak terlalu bisa bernyanyi, tapi saat itu kami berdua sama-sama seperti penyanyi andal yang punya jutaan penggemar, bernyanyi seperti orang kesurupan. Tidak peduli nada, tidak peduli suara sumbang, tidak peduli arti lagunya apa. Yang penting kami bernyanyi.
Aku menyukainya. Agaknya sudah cukup lama aku tidak karaokean dengan gila seperti itu, sampai suaraku serak, dan Kak Alden menertawakan hal itu.
Lalu kami sadar kalau kami ini manusia, bukan robot. Masih punya rasa lelah, rasa lapar dan haus. Makanya setelah puas karaoke, Kak Alden mengajakku ke restoran Jepang yang sebelumnya, tempat aku dan Kak Alden bertemu hari ini. Dan aku pesan sushi!
Aku pikir, setelah ini aku nggak akan suka lagi sama sushi, ternyata mataku nggak berhenti berbinar saat sushi tersaji di atas meja.
"Ternyata bener, lo segitu sama sushi," ucap Kak Alden seraya terkekeh.
Aku langsung menatapnya, mulutku yang baru dimasukkan satu potong sushi terasa penuh sekali sampai tak bisa berujar apa pun. Dan pipi ini terasa menggembung. Aku pasti jelek, mirip si Bebek.
Tapi Kak Alden berkata, "Gemes banget sih, Gi." Tangannya terulur untuk mengacak-acak rambutku. "Makan yang banyak, ya. Biar cepet gede."
Aku cemberut, tapi masih belum bisa mengatakan apa-apa karena mulut yang penuh ini.
Sehabis makan, langit sudah mulai menggelap. Dan ketika aku pikir Kak Alden akan membawaku ke kostan Bang Theo, dia malah membawaku pulang ke rumah. Sepertinya Kak Alden tidak benar-benar ingin aku berurusan dengan Bang Theo—setidaknya untuk saat ini. Sayangnya, semesta berkata lain. Sampai di rumah, aku terkejut dengan parkirnya motor Bang Theo di depan rumah, dan pemiliknya keluar begitu mobil berhenti tepat di depan rumah.
"Bang Theo ...," desisku agak ketakutan.
Kak Alden dengan cepat menghampiri kami, dia membawaku ke belakang tubuhnya, seakan bisa membaca raut wajah Bang Theo yang kelihatan marah. "Yo, dengerin gue dulu, oke?"
"Habis dari mana?" tanya Bang Theo dingin. Aku semakin ketakutan, semakin kuat mencengkeram sisi kaus yang Kak Alden kenakan.
"Gue tadi habis—"
"Gue tanya Gigi," potong Bang Theo. "Kamu habis dari mana sampai nggak bisa dihubungin?"
Ponselku memang sengaja dimatikan. Itu karena agar Yardan dan Raje berhenti menelepon. Aku nggak tahu kalau Bang Theo juga akan menelepon dan membuatnya sampai begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gigi dan Para Bintang
Teen Fiction[SELESAI] Bintang membuat malam gelap Gigi lebih bersinar dari biasanya. Bintang membuat langit hitam Gigi lebih gemerlap dari biasanya.