[18] Gigi dan Gaun Abu-abu

401 103 11
                                    

"Jujur sama aku, siapa yang bakal dateng?" tanyaku terus terang setelah melihat Mama berkali-kali menoleh ke pintu depan dan mengecek ponselnya, dia tengah menunggu seseorang, aku tahu.

Mama kelihatan gelisah, senyumnya mengembang dengan paksa. "Temen Mama. Nggak apa-apa kan dia gabung sama kita?" Ada ragu, tapi juga ada sinar harapan yang memancar, membuatku marah tapi juga tak tega.

"Laki-laki?"

Beberapa detik terjeda sampai Mama akhirnya menjawab, "Iya. Temen baik Mama."

Aku mengembuskan napas. "Oke. Aku harap dia laki-laki yang baik, yang bukan cuma bikin Mama bahagia, tapi bisa bahagiain aku juga."

"Gi ...." Mama menatapku nanar. Belum pernah aku melihat tatapan yang semacam itu sebelumnya dari Mama.

"Aku tahu alasan utama Mama ngajak aku makan di restoran mewah kayak gini, pakai baju rapi, dan Mama kelihatan gelisah nunggu seseorang atau mungkin gelisah karena berusaha nyusun kata buat ngejelasin semuanya ke aku. Aku udah tahu, Ma. Aku pernah ngalamin kayak gini sebelumnya ... sama Papa."

Mama kelihatan sedih. Dia meraih kedua tanganku, meremasnya pelan. "Mama minta maaf, Gi." Dia menunduk.

Aku menarik napas dalam. "Apa dia orang baik?"

Mama mengangguk. "Baik. Baik banget."

"Oke. Itu cukup. Ada yang bilang sama aku kalau semuanya bakal baik-baik aja kalau ada orang baik di sekitar kita. Aku harap laki-laki itu bikin Mama selalu baik."

Senyum Mama mengembang, matanya berbinar. Lalu sebelum dia melepaskan tanganku dari genggamannya, matanya menatap pintu utama restoran dan menangkap sosok itu, sosok yang ditunggu-tunggu sejak tadi, yang membuat senyumnya semakin mengembang.

Aku juga akan melakukan hal itu kalau saja tidak menangkap seseorang yang mengekor di belakang lelaki jangkung bertubuh besar yang berjalan menuju meja kami. Dia memakai dress sebatas lutut berwarna abu-abu yang sama persis denganku. Aku menoleh pada Mama, meminta penjelasan kenapa Askila ada di sana, tapi Mama sibuk menatap sosok laki-laki itu.

Papa Askila?

Jangan bilang ....

"Gigi, kenalin ... ini Om Roy, dan ini anaknya, Kila. Kamu kenal, kan?" Mama berujar dengan senyumnya yang mengembang.

Aku sama sekali tidak tersenyum. Entah. Tiba-tiba saja kemampuanku untuk tersenyum pada seseorang menghilang. Semuanya terlalu tiba-tiba, terlalu mengejutkan, dan terlalu penuh tanda tanya besar.

Om Roy mengulurkan tangannya ke hadapanku. Aku menatapnya sekilas. Enggan. Tapi pada akhirnya tetap membalas seraya berujar, "Gisela, Om. Panggil aku Gisela atau Gisel."

Aku tahu tatapan Mama kecewa terhadapku saat ini. Dia tahu kalau aku melarang orang-orang yang tidak aku anggap spesial untuk memanggilku dengan Gigi. Namun yang kini lebih aku perhatikan adalah raut Askila yang begitu berbeda dari yang aku temui sebelumnya, setidaknya pagi tadi saat dia dengan semangat mengajakku bolos sampai mengajakku ke resto Jepang dan makan ramen dengan semangat.

Senyum yang biasa mengembang tiba-tiba hilang entah ke mana. Suara cerianya seakan tak terlihat di mana pun. Yang ada hanya tatapan malas dan angkuh, yang kentara sekali kalau dia begitu terpaksa datang ke sini.

Apa dia sudah tahu sebelumnya kalau papanya mengajak makan malam dengan judul bertemu mama tiri? Dan dia tidak suka. Apa ini karena pagi tadi aku secara nggak langsung meninggalkannya karena harus pergi dengan Kak Alden?

Askila bahkan dengan gerak kasar dan suara ketus membalas uluran tangan Mama serta menyebutkan namanya, membuatku perlahan marah. Dia cukup keterlaluan.

Gigi dan Para BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang