♥♥♥
Sebagian orang mungkin membenci hujan. Entah karena emang bikin ribet sekaligus memperlambat aktivitas, atau karena bikin malas beraktivitas—lebih baik masak mi instan seperti yang sekarang aku inginkan, atau alasan paling lucu adalah karena hujan selain menurunkan jutaan tetesan air, tapi juga menurunkan jutaan kenangan masa lalu.
Melankolis banget. Kehujanan bukannya diguyur air malah diguyur kenangan.
Aku mendesah. Menatap ke luar jendela yang bagian luarnya basah karena air hujan. Ini masih pukul lima pagi, masih terlalu dini untuk matahari muncul, dan kayaknya seharian ini matahari nggak akan memperlihatkan sinarnya karena hujan—BMKG bilang kalau beberapa hari ke depan intensitas curah hujan di Jakarta bakal meningkat seiring dengan pergantian musim. Itu peringatan untuk semua orang agar tidak lupa membawa payung, juga sebagian lainnya harus siap-siap menaikkan perabotan ke tempat yang lebih tinggi.
Tapi serius, kenapa orang-orang memilih galau di saat hujan dibanding bikin Indomie pakai topping yang lengkap?
Apa sekarang masih terlalu pagi untuk bikin mi instan?
Aku menoleh pada samping tempat tidur, tepatnya di nakas, di mana akuarium bulat berisi satu ikan mas koki berwarna oranye terang tengah berenang ke sana-sini, melahap makanannya yang baru aku taburkan beberapa saat lalu. Itu kado ulang tahunku yang ke tujuh belas dari Bang Theo. Tiba-tiba kepikiran, kayaknya jadi si Bebek enak, ya? Dia tinggal berenang dan makan makanan yang dikasih majikannya. Huft.
Aku baru akan kembali menarik selimut dan berencana tidur lima belas menit lagi sebelum siap-siap berangkat sekolah, atau sebelum Mama menggedor pintu kamar, ketika ponsel di atas nakas bergetar panjang. Dan yang membuatnya begitu adalah orang paling terakhir yang ingin aku ajak bicara saat ini—lebih tepatnya terakhir kedua.
Aku nggak mempedulikan, memilih mengabaikan karena tidur lima belas menit di pagi hari saat hujan sama enaknya dengan makan mi instan di cuaca dingin seperti sekarang.
Tapi agaknya si tetangga sebelah ini tidak akan berhenti menelepon sebelum aku mengangkatnya, membuat keinginan untuk tidur dan makan mi instan berubah jadi keinginan berteriak ke luar jendela agar dia berhenti menelepon.
"Selamat pagi, Gigi sayang," suaranya masuk ke telingaku dengan nada yang menjijikan. Di pukul lima pagi aku harus berhadapan dengan yang seperti ini? Astaga!
Aku mendengkus, memutar bola mata dengan malas. "Nggak usah basa-basi. Ada apa?"
"Galak banget, sih." Yardan terkikik di ujung sana. Ngapain juga dia telepon kalau dia bisa langsung buka jendela kamarnya dan berteriak memanggilku seperti yang biasa dia lakukan—lebih sering ngelempar jendela pakai kerikil sih, beruntung kaca jendelaku tidak pecah karena perbuatannya. Sampai sekarang aku juga masih mempertanyakan, dari mana dia dapat kerikil itu? Apa dia ready stock di kamarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gigi dan Para Bintang
Jugendliteratur[SELESAI] Bintang membuat malam gelap Gigi lebih bersinar dari biasanya. Bintang membuat langit hitam Gigi lebih gemerlap dari biasanya.