[10] Gigi dan Kasih Sayang

489 106 0
                                    

Pada akhirnya Kak Alden membawaku ke sebuah tempat pembuatan lilin aromaterapi. Dia bilang, aku bisa membuat sendiri formula aroma yang aku inginkan, juga menghias sendiri lilin tersebut. Ya ... itu memang ide yang cukup bagus daripada aku pusing terus memikirkan hadiah apa yang cocok untuk Askila.

Aku nggak cuma bikin buat Askila, tapi buat Yardan, Bang Theo, Mama, dan tentu saja ... Raje. Cowok itu entah kenapa sulit sekali hilang dari daftar orang-orang penting Gisela Maharani. Aku juga bikin untuk Papa, tapi nggak yakin apa aku bisa memberikannya secara langsung atau tidak. Mungkin kalau aku benar-benar berniat memberikannya, aku bisa menitip lilin itu pada Bang Theo. Kalau aku datang langsung ke rumah Papa, aku selalu nggak siap buat ketemu istri Papa dan anak mereka yang baru berusia tiga tahun itu.

Setelah pulang dari tempat pembuatan lilin yang untungnya proses pembuatannya terhitung cepat, Kak Alden mengajakku makan malam—astaga, iya, langit sudah berubah jadi gelap ketika aku dan Kak Alden keluar dari tempat itu. Kak Alden mengaku belum makan sejak siang, jadi aku setuju untuk makan malam bersamanya. Toh, sampai rumah pun Mama belum tentu sudah pulang dan aku terpaksa makan malam sendirian.

"Lo kalau pulang malem gini suka diomelin nggak?" Sejujurnya Kak Alden mengkhawatirkan ini sejak tadi, apalagi aku masih pakai seragam sekolah.

"Diomelin," jawabku, seraya memasukkan sesendok besar nasi goreng ke dalam mulut.

"Theo yang ngomelin?"

Aku mengangguk. Mulutku begitu penuh setelah tadi memasukkan kerupuk juga.

Kak Alden mengembuskan napas lega. "Syukur deh kalau gitu, Theo nggak tahu kan kalau lo lagi sama gue?"

"Tahu kok, kan aku bilang."

Mata Kak Alden melebar. "Lo kapan bilangnya?"

"Waktu kita tadi bikin lilin. Bang Theo nge-chat aku, terus aku bilang deh kalau lagi sama Kak Alden."

"Mampus gue," desis Kak Alden pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya.

"Kenapa?" tanyaku heran, aku masih sibuk mengunyah. Begini saja sepertinya sudah terlihat mana yang sebenarnya sangat lapar.

"Nanti pasti gue diintrogasi, kan gue nggak bilang ngajak lo jalan."

"Kan aku yang bilang."

"Nggak gitu maksud gue, Gi," Kak Alden kelihatan panik. 

"Kenapa sih, Kak? Bang Theo nggak akan marah kok kalau cuma ngajak aku makan nasi goreng gini, sama bikin lilin."

Kak Alden kembali mengembuskan napas. "Lo nggak tahu aja gimana Theo ngeintrogasi gue padahal cuma jemput lo, dan itu pun dia yang nyuruh."

Aku mengerutkan kening mendengar gumaman Kak Alden yang nggak begitu jelas. "Bang Theo emang nanya apa aja sama Kak Alden?"

"Dia nanya, kenapa gue nggak bisa dihubungi waktu jam pulang sekolah lo--ya, ini emang salah gue sih, tapi kan baterai hape gue habis. Terus dia juga nanya, apa gue ngajak lo ke suatu tempat sebelum ke kostan. Ya ... pokoknya ala-ala abang protektif gitu, deh." Kak Alden bergidik ngeri.

Aku meringis, jadi ingat kejadian ketika Raje kepergok pertama kali mengantarkan aku pulang. Beneran, deh, setelah itu Raje langsung dibawa masuk ke dalam rumah dan ditodong banyak pertanyaan oleh Bang Theo mengenai hubungannya denganku. Saat itu aku juga nggak tahu kalau Bang Theo akan pulang ke rumah, kalau tahu aku pasti nggak akan mengizinkan Raje untuk pulang mengantarku hari itu.

"Bang Theo emang kayak gitu, maaf ya, Kak," ujarku.

"Gue udah tahu bahkan sebelum ketemu beneran sama lo, waktu Theo pertama kali nge-chat gue minta jemput lo. Lo harus tahu sebanyak apa Theo bilang hati-hati dan bilang jangan sampai Gigi lecet. Buset ... gue sampai muak." 

Gigi dan Para BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang