[13] Gigi dan Jendela

404 110 9
                                    

♥♥♥

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

♥♥♥

Aku masih terus memperhatikan laju mobil hitam itu sebelum benar-benar menghilang dari pandanganku dan Raje menghampiriku, menatapku dengan heran.

"Kenapa?" tanyanya. "Itu Kila, kan?"

"Kamu kok ada di sini?" Aku malah membalasnya dengan melemparkan pertanyaan lain.

"Kenapa? Emang aku nggak boleh ke rumah pacar aku sendiri?"

Mataku melebar. Kalau aku sedang makan sesuatu, pasti sekarang aku sedang tersedak. "Pacar?"

"Iya, pacar. Kita udah balikan, kan?"

Kapan???

Aku mengernyit. Hendak memprotes, tapi Raje lebih dulu menyela, "Kamu tadi bareng Kila?"

"Ya .... Dia tadi ngasih aku tumpangan, soalnya Yardan ...." Aku nggak melanjutkan kalimat karena aku langsung menoleh ke arah rumah Yardan yang kelihatan sepi dari luar. Orangtuanya pasti bekerja, dan Ria mungkin main dengan teman-temannya atau belum bangun dari tidur siang. Entah. Yang jelas, aku melihat motor Scoopy Yardan sudah terparkir di halamannya, berarti dia ada di dalam.

"Sejak kapan kamu deket sama Askila?" Raje bertanya lagi, seolah dia tahu apa yang sedang aku dan Yardan alami. "Aku tahu kita sama-sama diundang ke acara pesta ulang tahunnya, tapi kamu tahu sendiri kan, pesta itu nggak cuma dihadiri sama temen sekelasnya aja, tapi mungkin satu angkatan dia undang. Jadi, selama ini kamu emang deket sama dia?"

Aku menggeleng, kembali memikirkan bagaimana Askila dan supirnya bisa tahu letak rumahku dengan tepat, sampai ke nomor rumahnya. "Kami kan dulu satu ekskul, inget nggak?"

"Teater?"

"Iya. Dia cuma masuk di semester pertama sih, habis itu langsung keluar. Kan dia sibuk juga sama kegiatannya yang lain."

Raje manggut-manggut. "Kata Yardan, kamu sembelit?"

"Jadi, Yardan yang nyuruh kamu ke sini?" Aku mendongak, menatap balkon rumah Yardan, siapa tahu dia ada di sana, memperhatikan kami seperti waktu itu. Lalu dengan ponselnya siap melaporkan kejadian ini pada Bang Theo.

"Nggak nyuruh. Dia cuma ngasih tahu kalau kamu lagi sembelit."

"Nggak sembelit. Cuma ... ya, gitu deh. Pokoknya aku baik-baik aja." Cuma pengin makan sushi aja tiba-tiba, pasti mood-ku langsung baik.

"Beneran?" Raje menaruh kedua tangannya di pundakku, membuatku langsung menepis halus.

"Iya, udah sana kamu pulang. Kayaknya bentar lagi hujan."

"Nggak akan, emang cuacanya begini aja. Mendung, tapi nggak akan hujan."

Aku berdecih, lagi-lagi Raje bersikap seperti pegawai BMKG atau pawang hujan.

Gigi dan Para BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang