[22] Gigi dan Perkumpulan

522 104 5
                                    

Setelah selesai menjelaskan—aku hanya diam mendengarkan, yang banyak menjelaskan adalah Yardan, Raje pun lebih banyak diam—Bu Retno akhirnya memutuskan untuk memanggil Masha segera ke ruang BK. Masha kemudian datang dengan wajahnya yang datar tapi kelihatan juga kalau dia tegang. Tak bisa dipungkiri, semua murid yang dipanggil ke ruang BK pasti merasakan hal yang sama, kecuali murid-murid nakal yang memang sudah langganan bertemu dengan Bu Retno di ruangan ini.

Seakan tahu apa yang sedang dibahas melihat aku, Yardan, dan Raje masih duduk di sana, Masha meminta Bu Retno agar kami keluar dan dia bisa berbicara empat mata dengan Bu Retno. Yardan awalnya tidak terima, karena dia ingin tahu segala kebenaran ini dengan segera dan menyelesaikan semua kerumitan yang terjadi. Tapi Bu Retno memilih mengikuti permintaan Masha dan menyuruh kami kembali ke kelas.

Dan begitu pintu ruangan tertutup setelah kami bertiga ada di luar, Raje begitu saja pergi meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun. Aku yang masih mencerna apa yang terjadi setelah mendengar penjelasan Yardan dan Raje ketika di dalam ruang BK dan berusaha menghubungkan dengan apa yang terjadi padaku dan Askila sedikit bisa menebak sikap Raje saat ini.

"Ayo ke kelas." Yardan menarik tanganku, tapi aku menahannya.

"Bawain tas gue, nanti gue nyusul." Aku melepas tas dan memberikannya pada Yardan.

"Mau ke mana?"

Bukankah sudah jelas? 

"Gue harus ngomong sama Raje, bentar."

"Gi ...."

"Bentar, Dan. Dia pasti lagi kacau sekarang, gue ngerti dan lo pun seharusnya ngerti." Aku menatapnya serius. "Sama kayak apa yang lo lakuin ke gue, semua ini karena lo sayang sama gue sebagai sahabat. Dan Raje sayang sama sahabatnya, begitu tahu apa yang sahabatnya lakuin, dia pasti kecewa. Gue atau lo pasti kecewa kalau di antara kita ada yang berbuat hal gila." Ya ... berada di balik akun anonbitch dan mengoperasikannya merupakan hal gila menurutku. Aku yakin Yardan dan Raje pun setuju.

"Oke ...," Yardan menyerah. Dia melepaskan tanganku dan balik mengambil tasku. 

"Inget, gue kesel sama lo karena lo nggak cerita ini semua ke gue duluan." Aku menatapnya tajam.

"Gi ..., soal itu ...." Dia meringis.

Aku berdecak sebal, lalu menatapnya sendu. "Ya ... sebenernya gue juga ada yang mau diceritain sama lo, tapi gue tahan."

Yardan langsung menatap antusias. "Apaan!? Tuh, kan!? Lo juga ada yang disembunyiin dari gue."

"Sssttt!!! Berisik! Kita ada di luar kelas dan sekarang lagi jam pelajaran kalau lo lupa."

"Ya udah, apaan?" Yardan berbicara dengan nada yang lebih pelan.

"Nanti," jawabku. "Sekarang gue harus ketemu Raje dulu." Aku mulai melangkah menjauh meninggalkannya. "Kalau guru nanya, bilang aja gue sembelit." Aku nyengir.

Karena terlalu banyak berbasa-basi dengan Yardan, aku jadi kehilangan jejak Raje. Langkah kaki cowok itu besar, jadi lengah sedikit saja aku sudah tertinggal beberapa langkah tertinggal beberapa langkah di belakang. 

Aku mencari ke tempat paling mungkin yang akan didatangi Raje, yaitu halaman belakang sekolah. Tapi cowok itu nggak ada di sana. Aku nyaris mencarinya ke lantai atas, di mana aku dan Yardan, juga Raje biasa berkumpul di sana sambil menonton film, tapi nggak jadi setelah mengingat bahwa tangga menuju lantai atas berada di arah sebaliknya ruang BK, yang mana Raje tidak melangkah ke sana.

Lalu akhirnya langkah kakiku mengajak ke kantin. Dan benar saja, Raje ada di sana, sedang berdiri di depan salah satu konter penjual ketoprak. Di tangannya sudah ada sepiring ketoprak, dia terlihat sedang berdiskusi dengan pedagang ketoprak tersebut untuk menambahkan kerupuk ke dalam piringnya. 

Gigi dan Para BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang