9. Cantik

1.7K 195 0
                                    

"Melihatmu, spontinatasmembuat mulutku sukarela berkata CANTIK

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Melihatmu, spontinatas
membuat mulutku
sukarela berkata CANTIK."
—Dekik Cantik

¤¤¤

"Reffan! Coba lihat sini deh." Airin menepuk pundak seseorang di sebelahnya, tadi gadis itu jadi siswi penurut di jam kosong seperti ini. Tapi setelah selesai dengan urusan kaca dan bedak, dia mulai bicara. "Reffan anaknya Bapak Gha ... ehehe." Dia tersenyum bersama lesung pipi di kirinya, menampilkan deretan gigi yang putih hingga Reffan mampu menangkap sesuatu.

"Coklat di gigi," katanya.

"Hedeh." Airin justru mendengus seakan penilaian orang di sebelahnya adalah hal yang salah. "Muka gue gimana?" keluhnya sambil mengurus sesuatu yang ditegur Reffan.

"Gak gimana-gimana." Reffan bicara lagi, tanpa ekspresi yang begitu berarti. Lagian memang benar kata Reffan, wajahnya tetap sama dan tidak berubah. Tetap terlihat seperti bunga melati putih di hamparan rerumputan hijau yang tumbuh subur, indah dan menggoda tanpa harus dijelaskan secara rinci.

"Jendra! Haidar! Muka gue gimana?" Airin berbalik pada dua meja yang dihuni oleh sepasang pemain gim, dua-duanya sama tengah memakai earphone, sambil teriak-teriak tidak jelas guna mengejar kemenangan. "Oey!" Gadis itu menghempaskan tangan hingga antara sedetik dua detik matanya Jendra dan Haidar melihat ponsel dan si pemanggil bergantian.

"Seblak jumbo," ujar Haidar.

"Tahu bakso lima puluh ribu," sambung Jendra.

"Ck!" Airin putar balik dan kembali menatap Reffan. "Reffan. gue mau keluar," katanya.

"Gue udah bilang kita di kelas aja, jangan keluyuran," jawab Reffan.

"Gue mau berak, Reffan," adunya lagi.

Tapi sebelum mengiyakan, laki-laki itu menatap ke arahnya dulu. Terlihat memastikan apa gadis ini sedang main-main atau serius, soalnya mempercayai Airin lewat omongan saja adalah suatu pilihan yang salah. Jangan sekali-kali mencoba kalau tidak mau kena tipu muslihatnya, Airin ini cerdas masalah begituan.

"Oke." Dan Reffan setuju tanpa mengangguk.

Biasanya persetujuan Reffan sama seperti ditraktir seblak ceker, tapi kali ini ekspresi Airin biasa saja. Dia tidak teriak atau melompat kecil saat mendengarnya, padahal telinga Reffan akan sakit kalau gadis ini dalam mode aktif seperti itu. "Makasih, Reffan." Kagetnya, gadis ini tampak normal. Apa dia marah mengenai penilaian tadi?

Tiba-tiba Reffan kepikiran masalah yang sepele itu, isi kepalanya bertarung antara memikirkan strategi lomba dengan perilaku normal Airin. Rasanya sama-sama menjadi beban, tapi yang lebih besar adalah sifat gadis tersebut. Saking tidak begitu tenang, Reffan memutuskan untuk menyusulnya.

Dan yang sebenarnya Airin lakukan adalah meminjam kaca besar toilet sekolah mereka, karena di situ dia bisa memandangi wajahnya puas-puas. "Bener kata Reffan, enggak ada bedanya." Dia berujar sambil meneliti wajahnya yang disiram dengan air.

ASING : A Strange Friendship✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang