17. Hujan Untuk Kebangkitan Nestapa

1.5K 188 0
                                    

"Ada cerita di tiap
suasana yang disajikan alam."

—Dekik Cantik

¤¤¤

"Naura!"

Aica mendengus. Entah sudah berapa puluh kali nama itu tertuju padanya. Yang pasti saat kemunculan Elif sebagai anak baru, dia merasa seperti diberi nama baru kedua oleh orang tuanya, ah ralat, oleh orang asing. "Tunggu, Naura!" Tidak di saat pertama kali bertemu saja, sebab sampai detik ini, Elif masih terus memanggilnya seperti itu baik dalam sadarnya atau tidak.

"Berapa kali gue bilang kalo nama gue Aica, bukan Naura."

Sambil mengejar langkah Aica yang terbilang laju, Elif sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya. "Iya makanya tunggu, Naura eh Aicaaa!" katanya.

Sebenarnya Aica tidak menganggap kehadiran Elif sebagai teman dekat, lagian dianya saja yang selalu ikut tiap mau pulang dan berangkat sekolah, akhirnya mereka jadi terlihat bersama. Seperti sekarang, Elif mengikutinya lagi, dan tanpa risih Aica biasa-biasa saja, dia juga tidak perduli mau sekeras apa dimirip-miripkan dengan seseorang yang sudah meninggal, Aica tetaplah Aica.

"Ayo satu payung!" Elif berhasil mengiringinya, dengan benda panjang berwarna biru langit yang masih tertutup.

"Gue enggak perlu!" tolak Aica.

"Kenapa kamu selalu menghindar?"

Mungkin kehadiran Elif tidak terlalu membuatnya risih, tapi kalau sudah bertanya benar-benar bisa bikin jengkel. "Siapa yang ngehindar?" cibirnya dengan memeluk tas yang semula berada di punggungnya.

"Kamu lah," ujar Elif lagi, "Kenapa selalu sembunyi dari Airin, emang kalo dia lihat kamu bakal gigit?"

Lelocun itu terdengar basi, tapi Aica sedikit terhibur. "Gak pengen aja," katanya.

Elif memang sering bersama Aica tanpa sepengetahuan Airin dan teman-temannya, padahal bukan maksud gadis itu ingin berteman dengan cara sembunyi-sembunyi begini. Tapi si Aica ini saja yang apa-apa pasti sembunyi walau dari jauh melihat kehadiran Airin. Mungkin awal-awal Elif heran, tapi makin ke sini dia sedikit paham kalau Aica sengaja melakukannya.

"Aica, aku emang gak tau apa yang terjadi di antara kalian, tapi ...."

"Mending lo pikir perasaan lu sendiri, El. Gak usah capek-capek mikirin masalah gue," potong Aica.

"Maksud kamu?"

"Tanya hati lo selama ini apa baik-baik aja sama dia? Airin dan kedekatannya sama Reffan, atau gimana setianya teman cowok dia itu, pikirin deh."

"Kamu ngomong apa sih?"

"Gue tau lo naksir Reffan, dan ...." Entah apa yang membuat Aica jadi bicara melantur, dia tiba-tiba menghentikan pergeAidann bibirnya itu.

"Ica." Suara yang muncul di belakang mereka spontan membuat keduanya menoleh, ada Jendra di situ, sedang menuruni anak tangga dari lantai atas. "Buruan pulang, Mama lu ngehubungin gue buat barengin elu," ujarnya saat melewati keduanya begitu saja.

Aica enggan bergerak, begitu juga dengan Elif. Hingga akhirnya Jendra menghentikan langkah dan berbalik untuk menguji kesabaran lebih jauh dengan gadis keras kepala tersebut.

"Gue ada jas hujan, tenang aja," kata Jendra lagi.

"Eh, tapi, tapi ...." Elif menahan tangan Aica. "Aku pulang sama Aica mau naik bus padahal, kayak biasanya," cicit gadis itu pelan.

"Lu pulang sama Nathan, ini gue hubungin anaknya," ujar Jendra, "Aica!" Lalu menyadarkan Aica yang tampak berpikir keras.

Tanpa pamit, Aica mengikuti Jendra dan meninggalkan Elif seorang diri. "Naura." Meski masih tidak bisa menerima kenyataan, Elif seperti merasa dipatahkan karena perilaku Aica yang kelewat cuek.

ASING : A Strange Friendship✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang