11. Pemersatu Hati yang Rapuh

1.6K 190 3
                                    

"Enggak gampang nangis, tapi kalo sekali nangis, enggak gampang juga berhentiinnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Enggak gampang nangis, tapi kalo sekali
nangis, enggak gampang juga berhentiinnya."
—Dekik Cantik

¤¤¤

Menangis itu bukan perkara air keluar dari mata lalu membasahi pipi, tapi menangis, mampu menampung banyak hal selain itu. Ada rasa sakit, kecewa, kehancuran, pengkhianatan dan semua yang tidak mengenakkan lainnya.

Makanya, saat Aica pergi meninggalkan mereka, sebenarnya Airin langsung terduduk bersama mata yang memerah. Pupilnya bergetar, seperti mau lepas dari dalam sana bersama air mata yang mau meledak detik itu juga. "Airin." Syukur suara Jendra menyadarkannya.

"Gue perlu waktu, bentar." Dia keluar meninggalkan tempat itu juga. Reffan bahkan minta Elif untuk tetap di tempat, Airin paling akan menongkrong di bangku luar sana, jadi pasti akan terlihat saja dari dalam sini kalau dia sedang apa.

"Airin, enggak apa-apa sendiri?" Elif ragu, sebab dia tahu bertengkar dengan sahabat itu tidak mudah.

"Biar gue yang nyusul, nanti," ujar Reffan ambil duduk bergabung di tempat mereka. "Fokus aja dulu belajarnya," pandunya.

Airin memang jarang bertingkah seperti itu, tapi kalau sampai terjadi, berarti dia memang perlu waktu sendiri. Seperti tidak perduli bagaimana ributnya anak-anak di taman bermain yang tempatnya bersebelahan dengan gedung perpustakaan pusat, dia yakin siapa tahu melihat anak mengompol atau terguling dari perosotan akan memperbaiki suasana hatinya.

"Bahasa Inggris bahasa persatuan, karena di circel kita, gosip prioritas, dan enaknya pake bahasa inggris." Dulu Aica tertawa mengatakan itu, sambil merangkul Airin, lalu mulai mengajarinya untuk benar-benar paham bahasa inggris.

Itu sangat menyenangkan, Airin tidak bosan menjalaninya. Dia ingin semua terulang kembali, bahkan sudah memanfaatkan kesempatan dari ide Reffan biar bisa berbaikan dengan Aica.

Tapi apa? Gadis itu menghindar sama seperti di mana ia mau mereka tidak bersama lagi. Tepat saat hujan turun begitu deras dan membiarkan Airin basah kuyup dengan air mata berpadu air hujan.

Airin benci itu. Rasanya sangat buruk dibandingkan warna tai kucing Jendra yang jadi hijau. Kejadiannya mampu merubah segala hal di antara mereka, bahkan Airin tidak tahu kalau di SMA mereka masuk ke sekolah yang sama. Mungkin Aica juga demikian, karena saat di kelas, keduanya sempat terdiam beberapa saat.

"Sahabat lu bukan Aica aja, tapi gue juga. Temenan sama gue mulai sekarang." Haidar yang merangkulnya, mengajak jalan bersama untuk menjalani hari tanpa Aica.

Tapi dia juga akan terlihat lemah seperti detik ini. Haidar tidak benar kalau bilang dia mampu melakukannya. "Gue bohong, Dar," katanya saat panggilan kepada laki-laki tersebut terhubung.

"Apanya?" Haidar terdengar berteriak, napasnya juga tidak beraturan, sepertinya lagi latihan basket buat lomba nanti.

"Gak apa-apa." Airin mematikan panggilan itu dan menaruh ponsel di atas pangkuannya. Tapi tidak lama, getaran di ponselnya menampilkan panggilan video dari Haidar.

"Atuh lah eta naha, Somplak!" Laki-laki itu memarahinya, dan terlihat tidak pakai baju.

"WEH KENAPA LU ENGGAK PAKAI BAJU, WOEY?" Airin berteriak dan mampu jadi pusat perhatian dari beberapa orang di sekitar.

Terlihat Haidar tertawa lepas di sana. "Latihan. Kalo pake baju ntar basah baju gue, karena ini memicu banjir keringat." Ia mengarahkan ponsel ke arah berbeda di mana teman gigi kelinci mereka dan satu temannya yang lain juga tidak pakai baju. "Jadi, lu lagi kenapa?" tanya Haidar, kembali mengarahkan kamera ke wajahnya.

"Gak kenapa-kenapa."

"Bohong! Lu lagi belajar bareng dengan Aica, 'kan? Kenapa? Ada sesuatu?"

Airin terlihat diam. Arah pandangnya kosong ke tempat baru, yaitu di mana dua anak kecil bermain ayunan di sana. Mereka tertawa seperti tidak punya beban. "Gue mau main ayunan," katanya.

"HAH?" Haidar berteriak, antara memastikan pendengarannya benar atau salah. Tapi Airin diam lagi, itu membuat Haidar memperhatikan wajahnya dan mendapatkan sosok yang 'tak asing di belakang gadis tersebut. "Ai, lu harus banyak-banyak istigfar deh. Ada penampakan," tegurnya.

"Apa sih ... ASTAGHFIRULLAH!" Ponsel Airin jatuh ke tanah saat dia juga melihat jelas Reffan berdiri di belakangnya.

Kini mereka duduk bersebelahan dengan kamera yang tersambung hanya antar wajah Reffan dan Haidar. "Kenapa lu enggak pake baju, Haidar?" tanyanya.

"Latihan," jawab Haidar, sambil memperlihatkan Nathan yang sedang menggelinding bola basket di permukaan lantai semen. "Istirahat, hehe." Dan ia buru-buru membenarkan sebelum Reffan mengamuk karena bola itu dimainkan dengan cara yang salah.

"Harusnya lu pake baju depan Airin."

"Dia yang nelpon."

"ELU YANG VC YA!" Airin menyambar karena tidak terima.

"Ya elu ngapain nelpon tadi, ada masalahkah?"

Reffan mematikan panggilan itu hingga Airin mau tergelak, pasti sang empunya sedang kesal di sana. "Maaf kalo keputusan gue buat nyatuin lu dan Aica itu salah." Reffan berkata sambil duduk di sebelah Airin dan mengembalikan ponsel di tangannya.

Airin hanya menganggukkan kepala setelah menerima ponsel itu. "Tanpa lu satuin juga, gue bakal terus berusaha buat dekatin dia," ujarnya.

"Gue dengar dari Haidar, lu itu bintang sekolah di SMP. Makanya, gue berani ngajuin lu buat terjun ke perlombaan."  Reffan bicara lagi hingga membuat seseorang di sebelahnya tergelak. 

"Lu pernah dengar kalimat tentang orang yang dulunya ambis bakal jadi enggak ambis lagi pada waktunya? Gue ada di fase itu, satu kelas juga tau seberapa sering gue remedial. Mungkin Bapak Heri bakal kaget ngelihat gue di arena lomba. Lu tetap yakin milih gue?" tanya si Dekik Cantik.

Reffan mengangguk tanpa waktu yang lama. "Apa pun pilihannya, dan selama itu masih menyangkut tentang keberadaan lu," katanya.

"Woah? Termasuk pilihan jadi pasangan hidup?" Airin tangan dengan nada yang tinggi.

Di situ Reffan terbatuk kecil dan memutuskan kontak mata dengan orang di sebelahnya. Entah kenapa orang-orang yang sedang duduk di sekitar taman perpus terlihat cukup menarik untuk diperhatikan. "Kenapa nelpon Haidar tadi?" Tiba-tiba Reffan merubah isi pembicaraan.

Memang. Airin akui itu salah. Tapi 'kan Haidar temannya juga, buat apa harus seformal itu? "Gue mau bilang lu cemburu, tapi pasti bukan itu alasannya. Iya, 'kan?" tanyanya.

"Ya." Reffan tampak menyetujui, sambil melihat ke arah ayunan yang kosong di depan mereka sana.

"Pilih nomor dua kek sekali-kali, perasaan lu pilihnya nomor satu mulu. Iya, iya dan iya aja."

"Jawaban gue emang iya, Ai."

"Iya apa?"

"Cemburu."

tbc;

Bisa nahan untuk enggak bilang suka, tapi bablas kalo soal cemburu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bisa nahan untuk enggak bilang
suka, tapi bablas kalo soal cemburu.

—Reffan Cantiknya Airin

ASING : A Strange Friendship✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang