20. Posisi yang Dimanipulasi

1.4K 186 0
                                    


"Buktikan dulu, baru
orang-orang percaya."

― Dekik Cantik

¤¤¤

Panas hari ini lebih ke menceritakan bagaimana berwarnanya ukiran asa dan rasa untuk disimpan. Tidak seperti kemarin, di mana Malaikat Mikail mengatur bumi dalam temperatur suhu yang rendah. Hawanya sekarang lumayan panas.

Gadis itu masih di depan UKS, menunggu seseorang yang langganan membereskan ruangan tersebut tiap jam belajar habis.

"Sampai gue tau siapa yang main-main soal ginian, jaga aja lo semua." Sebenarnya, tidak perlu mendengar pembelaan Nathan pada Airin, Elif sudah tahu kalau teman perempuan mereka yang satu itu akan tetap jadi prioritas. Ibarat Elif hanya sebuah kipas angin di ruangan ber-AC, kehadirannya tidak begitu berarti, dan ia juga tidak berniat untuk menyalahkan Airin hingga hubungan persahabatan mereka merenggang.

Elif juga tidak heran sejauh mana mereka bisa saling memahami. Kesalahannya mungkin karena bermula membela seseorang dengan menjatuhkan orang lain, dan Elif semakin tahu, Airin bukanlah orang yang tepat untuk dijatuhkan.

Dia seperti punya empat tiang yang kuat meski rumah sebatas kayu saja, sedangkan Elif yang berusaha menjadi tiang bagi rumah beton merasa keberatan akan usaha yang ia lakukan sendiri. Dia merasa inilah waktunya merobohkan bangunan beton itu.

Sambil menunggu kemunculan Aica, Elif sudah menyiapkan sesuatu untuk menguji seberapa besar tingkat kesadaran diri gadis itu. Cukup sudah dengan menutupi aibnya sejauh ini, Elif tidak ingin Airin yang sama sekali tidak bersalah selalu jadi korban akan perbuatan orang lain.

"Aica!" Elif berseru saat gadis itu melewati pintu keluar, dan sama seperti biasa, Aica tampak acuh 'tak acuh dengannya. Langkah mereka bergerak ke arah yang sesuai dengan keinginan pulang, lalu Elif memegang tangannya saat merasa suasana sekitar senyap. "Aku mau ngomong," katanya.

Aica menatap dengan irisan yang kosong, ia bersandar pada dinding di dekatnya. "Aica, aku enggak tau apa permasalahannya, tapi aku cuma mau yang terbaik buat kamu." Elif mulai bicara dengan menggengam kedua tangan gadis di depannya. "Jangan lempar kesalahan ke Airin lagi."

Kedua tangan yang saling memadu kini terlepas, Aica mengerutkan kening dan menatap jengkel lawan bicaranya. "Ngomong apa sih lo?" tanyanya.

"Aku tau orang itu kamu, Aica."

"Apanya? Sahabat lu itu? Gue ini Aic ...."

Elif menggeleng dengan memegang kedua bahu gadis di depannya, pun menatap dengan asa berkaca-kaca yang memerah, lalu selanjutnya ia berkata, "Udah cukup ya. Kamu gak sehebat itu buat pura-pura di depan aku."

Aica terdiam, tubuhnya meminta lari untuk menjauhi orang di depannya ini. "Gue Aica!" Dia melawan, bahkan mendorong tubuh Elif untuk menjauh.

Aica rasa tidak tepat kalau melanjutkan obrolan dengan gadis di depannya itu, hampir buru-buru, langkahnya justru mampu dihentikan lebih dulu sebelum bisa pergi. "Elif, tolong! Gue Aica, jangan sama-samain gue dengan sosok sahabat lu yang udah mati itu!" jelasnya.

Perkataan Aica sangat kasar dan keterlaluan, tetapi Elif justru tertawa dengan menganggap candaan gadis ini sedikit berlaku sekarang. "Apa kamu yakin bisa jadi sosok Aica yang sempurna?" tanyanya, "Apa kamu bisa jadi orang yang dikenal oleh Airin? Nyatanya enggak, 'kan? Kamu justru jadi sosok yang asing buat dia." Elif membuatnya terdiam.

Ada sesuatu yang retak permukaannya, dan Aica tidak ingin sampai bagian dalamnya terluka oleh beling. Berbeda sama Elif yang sudah membawa lem jika sesuatu itu sungguhan hancur, dia punya solusinya, dia ingin menyampaikan itu, dia ingin orang di depannya ini mengerti.

ASING : A Strange Friendship✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang