Bunyi laju kereta api, menjadi pengisi kekosongan yang terjadi antara Dafan dan Hanin. Dua insan yang hanya terpaut dua tahun itu, rupanya sama-sama canggung. Meskipun mereka bertetangga, bahkan rumahnya saling berhadapan, tetapi mereka tak pernah bertegur sapa sama sekali. Padahal, mereka juga bersekolah di sekolah yang sama sejak SMP hingga SMA.
"Nggak asik banget, sih, cuma diem-dieman gini," keluh Dafan pada gadis di sebelahnya.
"Nggak capek, apa, noleh ke sana terus? Ada gue ini, lho," lanjut Dafan.
Dafan makin mendekatkan diri ke tempat duduk Hanin yang tak merespon ucapannya.
"Haloooo, gue ngomong sama lo!" Dafan melambaikan tangannya di depan wajah Hanin.
Barulah saat itu Hanin menoleh. Satu tangannya melepas sesuatu yang menjadi penyebab Hanin tak menjawab ucapan Dafan.
"Pantes aja pake headset! Gue kira lo budek beneran." Dafan bersungut, karena tak melihat Hanin memasang headset di telinga. Rambut sebahunya menutupi semua itu. Apalagi, headset yang dipakai Hanin berwarna hitam, selaras dengan warna rambutnya.
"Apa?"
"Nggak bosen apa diem mulu?"
Hanin memainkan jemarinya. Inilah yang ia takutkan sejak dua hari yang lalu. Ia tak pandai berkomunikasi dengan orang baru.
"Eng–nggak. Gue nggak suka banyak ngomong."
"Maksud lo, gue cerewet gitu?" tanya Dafan sensi.
"Eh! Enggak, ya. Gue nggak ngomong gitu. Haduh ... udah deh, mending gue dengerin lagu lagi aja," ujarnya buru-buru memasang headset dan membesarkan volume.
Dafan tak membiarkan hal itu terjadi. Ia tak mau mati kutu selama delapan jam ke depan. Karena jarak dari Bekasi ke Semarang tidaklah dekat. Lalu, tanpa aba-aba, Dafan melepas paksa dua benda yang menyumpal telinga Hanin. Mencabutnya dari Handphone yang berada di pangkuan gadis tersebut.
"Ehhhh! Mau diapain? Balikin, dong, Kak!" ujar Hanin berusaha meraih benda kesayangannya yang makin dijauhkan dari jangkauan gadis tersebut.
Nada suara Hanin yang tanpa sadar meninggi, membuat beberapa pasang mata terarah kepada mereka. Merasa terganggu atau penasaran dengan apa yang terjadi.
"Ssttt. Diliatin banyak orang lho, Nin," ucap Dafan dengan satu sudut bibir terangkat.
Mendengarnya, Hanin menyapukan pandangan ke sekitar. Ternyata benar! Hanin menunduk malu karena itu.
***
Setelah insiden memalukan tadi, Hanin tutup mulut rapat-rapat. Berbeda dengan Dafan yang terus mencoba mengobrol dengan Hanin. Hanin merasa sebal, karena tak bisa mendengarkan musik yang dapat menenangkannya.
"Ck! Berasa ngobrol sama patung gue!" sungut Dafan.
"Tenang, Nin. Gue bakal balikin headset lo ini. Asal lo temenin dulu gue ngobrol sekarang."
"Emang bibir Kakak gatel banget ya kalo ga ngomong sebentar aja?" sindir Hanin tajam.
Dafan justru tergelak. Hampir meledak, kalau tidak ingat kejadian yang cukup menarik perhatian orang-orang tadi.
"Bibir gue bakal jontor, kalo diem semenit aja, Nin," ucap Dafan meladeni sindiran Hanin dengan gurauan.
"Ya udah. Mau ngobrol apa cepet?!" ketus Hanin menuruti kemauan Dafan.
"Ngajak ngobrol kok kayak ngajak berantem!"
"Oke, batal!"
Dafan tak menghiraukan. Kini mulai mencomot satu topik.
"Lo mau ngambil jurusan apa?"
"Pendidikan Matematika."
"Serius?! Kalo lo jadi guru, gue bakal mikir ribuan kali untuk nyekolahin anak gue di tempat lo ngajar deh, Nin."
"Maksudnya?"
"Ya lo kan judes banget! Kasian anak gue nanti kalo dapet guru macem lo!" ledek Dafan puas melihat Hanin mencebik.
Belum sempat Dafan melayangkan pertanyaan lagi, getaran di ponselnya terasa di sekitar paha. Hanin tak langsung menerimanya. Menoleh ke Dafan yang ikut penasaran dengan orang yang menelfon Hanin.
"Kak pinjem headset gue bentar aja. Keponakan gue nelfon. Nggak tega kalo dibiarin gitu aja," pinta Hanin lembut.
Dafan agak tersentuh dengan permintaan Hanin. Namun, Dafan tak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Ya udah, angkat aja. Nggak perlu pake headset."
Hanin membuang nafas keras. Sebelum deringnya mati, Hanin sudah mengangkat panggilan video tersebut.
Dafan melirik ke ponsel Hanin yang sedikit dijauhkan, agar muka Hanin terlihat di sebrang sana. Dari tempat duduk Dafan, terlihat seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh tahunan dengan rambut keriting yang terlihat menggemaskan.
"Halo, Ponakan Onti sayang," sapa Hanin lembut.
"Ontiii!" Anak tersebut berseru lantang.
"Ssttt! Jangan kenceng-kenceng. Onti lagi nggak di rumah."
Anak tersebut mengangguk patuh. Mengecilkan suaranya.
"Kata Oma Hena, Onti lagi jalan-jalan naik kereta ya?" tanya bocah tersebut. Menyebut nama Mama Hanin dengan sebutan Oma.
"Iya. Doain Onti, ya. Onti mau ujian buat masuk sekolah."
Anak itu mengangguk kencang, sehingga layar terlihat ikut bergoyang.
"Pastiii! Sipa bakal doain Onti. Jangan lupa oleh-oleh ya, Ntiii!"
Hanin terkekeh kecil. Gemas dengan sikap ponakannya yang bernama Syifa itu.
"Iya! Nanti, kalau sempat Onti beliin Sipa oleh-oleh."
"Hush, Kakak Sipa nggak boleh gitu dong. Ngerepotin Tantenya, nih."
Kini kamera beralih pada wanita muda berdaster yang sebelah tangannya memegang sendok makan.
"Sori, ya, Nin. Ganggu perjalanan kamu. Ni bocah maksa banget minta nelfon kamu. Tadi nelfon Tante Hena, ternyata kamu nggak di rumah."
Hanin mengangguk maklum. "Iya. Nggak papa kok, Kak."
"Kalau gitu, udah dulu deh ya, Nin." Lalu terlihat Syifa sedikit cemberut di belakang Mamanya.
"Say goodbye dulu sama Onti Hanin."
Setelahnya, hening kembali melingkupi. Hanin jadi kikuk, karena Dafan tidak bersuara seperti sebelumnya. Namun, tanpa perlu menoleh, gadis itu sudah merasa, bahwa tatapan cowok itu sedang menghunus ke arah dirinya.
"Nin ...," panggil Dafan pelan. Tak ada sahutan.
"Kayaknya gue mau ralat ucapan yang tadi deh."
Kening Hanin tertekuk dalam. "Apaan?"
"Gue berubah pikiran, bakal nyekolahin anak gue ke tempat lu ngajar," bisik Dafan lirih dekat dengan telinga kiri Hanin.
Hanin dapat menangkap ucapan itu dengan jelas. Entah mendapat aliran dari mana, tahu-tahu hati Hanin sudah berdesir hebat.
Rabu, 2 Februari 2022
❤️❤️❤️❤️
Hai!
Gimana dengan Bab pertamanya?Anw, tanggalnya cantik ya hari ini.
2-2-22, xixi.
Terima kasih yang sudah meninggalkan jejaknya.❤️
Sampai jumpa di bab berikutnya!
Salam hangat,
IndAwsoka
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada Orang yang Sama (TAMAT)
RomanceSiapa bilang, kenangan dapat pudar oleh waktu? Siapa bilang, mencintai orang yang sama sejak lama, hanyalah omong kosong? Siapa bilang, cinta dalam diam hanya akan berujung pada rasa sakit? Siapa bilang? Siapa bilang? **** Selamat datang! Mulai 1...