Bagian 7

498 71 16
                                    

Lagi-lagi hujan turun. Tidak seperti kemarin yang didahului gerimis kecil lebih dulu. Kini tumpahan airnya cukup besar. Membuat orang tergopoh-gopoh untuk berteduh.

"Sial! Gue lupa lagi minjem jas hujannya Oka!"

"It's okay. Kita nggak diburu waktu kek kemarin lagi," ucap Hanin menenangkan.

"Gue jadi mikir .... Apa ini cara Tuhan buat bikin kita deket-deketan lebih lama lagi?" goda Dafan.

"Gue rasa lo nggak boleh suudzon gitu sama Tuhan."

"Gue malah berbaik sangka lho!"

"Tapi gue nggak ngelihat 'kebaikan' dari kita berhenti di sini."

"Serah lo deh!"

Hanin mengulum bibirnya. Menahan tawa yang hampir meledak.

"AAAA!!!!!"

Hanin berteriak keras, kala satu petir terdengar menggelegar secara tiba-tiba. Gadis itu menutupi kedua telinga dengan tangannya dan memejamkan mata erat-erat.

Dafan mendekat. Melepaskan kedua lengan itu. Menatap dalam bola mata gadis di hadapannya.

"Lo takut petir?"

Hanin perlahan membuka kedua matanya. Mendorong Dafan menjauh darinya.

"Nggak," sanggahnya cepat.

Dafan menunjukkan raut tak percayanya.

"Halah! Penakut amat sih jadi orang!" ledek Dafan lebih giat.

"Nggak, ya! Gue nggak takut pet— AAAAA!!!"

Lagi-lagi petir menggelegar ganas. Hujan kali ini lebih deras dari kemarin. Kilapnya juga terlihat menyilaukan mata.

"Cuma petir. Lo aman di sini sama gue."

Dafan mengusap kedua lengan Hanin. Menenangkan.

"Gue justru lebih seneng keluar kalau lagi hujan gini. Coba hirup udaranya. Seger banget, kan?"

Dafan tengah berusaha mengalihkan rasa takut Hanin. Menarik nafas dalam. Memejamkan mata. Lalu membuangnya secara perlahan. Bau air hujan bercampur tanah memang secandu itu bagi Dafan.

"Gue justru sebaliknya. Males keluar kalo lagi hujan."

"Bukannya lo emang ga pernah keluar rumah?" Dafan terus memancing Hanin.

"Iya. Gue jarang banget keluar rumah. Palingan kalo butuh sesuatu doang."

"Emang nggak jenuh di rumah mulu?"

Tatapan Hanin agak meredup. Wajahnya terlihat sendu.

"Udah kebiasaan. Sejak Mama maksa gue buat di rumah aja."

Dafan menaikkan alis. Bingung memilih kata yang tepat untuk bertanya lagi.

"Sejak Papa-Mama cerai, Mama jadi overprotektif ke gue. Kadang, gue mau fotokopi aja, kudu dianter Mama. Mau ke minimarket depan komplek pun sama. Se-dikekang itu gue. Tapi sekarang udah nggak terlalu sih," ujar Hanin dengan kekehan miris.

Dafan tertegun. Hanin mau menceritakan hal sesensitif ini padanya. Kini ia tahu, alasan di balik Hanin jarang keluar rumah.

"Gue salut sama lo." Dafan memandang cewek di depannya dengan tatapan bangga. "Di saat kebanyakan orang nyari berbagai cara buat keluar rumah, lo nurut ucapan Nyokap buat tetep stay di rumah."

Hanin tersenyum kecil. "Lo nggak tahu sih. Di awal-awal gue sering debat sama Mama. Gue mau kerja kelompok di rumah temen aja, nggak dibolehin, karena Mama nggak bisa nganter waktu itu. Sampai seiring berjalannya waktu, karena saking seringnya gue nolak tawaran mereka buat main, hang out, dan sebagainya, gue mulai dijauhin sama mereka. Siklusnya sama sejak SMP sampe SMA."

"Ya tapi, bener juga sih kalo dipikir-pikir. Ngapain mereka temenan sama gue yang nggak gaul, nggak bisa diajak kemana-mana, dan nggak asik ini?"

Dafan menyimak dengan seksama segala kisah Hanin. Hidup gadis itu tidak semudah yang orang-orang kira. Ia jadi ingat, bahwa sejak dulu, saat mereka berpapasan di sekolah, Hanin sering terlihat sendirian.

"Mama lo sayang sama lo."

Hanin mengangguk kencang. "I know. Gue pun sama."

"Tapi hal semacam itu bikin gue tumbuh beda dari kalian. Gue jadi nggak bisa menikmati kehidupan remaja kayak orang normal. Hidup gue nggak jauh-jauh dari kamar, ruang tengah, ruang tamu, sama teras."

"Nin ...."

Hanin menyahut dengan gumaman.

"Lo mau ngerasain jadi remaja normal kayak yang lo bilang tadi?"

Hanin terlihat berpikir sebentar. "Iya. Tapi mungkin, gue bakal ngerasain itu saat gue udah menetap di kota ini. Anyway, gue berjuang kuliah di sini salah satunya juga karena alasan itu."

"Gimana kalo misal besok-besok gue yang temenin ke mana pun lo mau?"

Hanin mengerjap-erjapkan kedua matanya. Apa maksudnya dengan ucapan Dafan barusan?

"Malah bengong!"

"Enggak."

Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Alasan lain yang menjadi pilihannya melanjutkan pendidikan di kota ini.

"Lo udah pesen tiket buat besok, Kak?"

"Oiya. Belum. Setelah ini deh sekalian."

"Kalo gue minta waktu dua hari menetap di sini lagi, boleh?"

Dafan mengernyitkan dahi. "Ada apa?"

"Ada masalah yang harus gue urus."

"Apa?" Cecar Dafan.

"Boleh, Kak?" tanya Hanin, tanpa menjawab pertanyaan Dafan.

Dafan mengembuskan napas keras. Mengontrol emosinya.

"Nggak sepatutnya lo minta izin ke gue. Gue cuma menjalankan perintah dari Mama lo. Jadi, silakan lo tanya sendiri."

Baiklah. Artinya, Dafan setuju untuk menemaninya lagi dalam dua hari ke depan. Hanin mengeluarkan ponselnya. Menelfon Mamanya.

"Halo, Ma?"

"Ma, kalau Hanin izin dua hari lagi di sini boleh? Sama Kak Dafan, kok," ujarnya ketar-ketir sembari sesekali melirik Dafan.

"Kenapa gitu?" tanya Mamanya.

"Ehm ... Hanin pengin keliling-keliling daerah Semarang. Biar nantinya, kalau udah netap di sini, Hanin nggak nyasar," ujarnya sedikit berhati-hati.

Di seberang sana, Mama Hanin tak segera menanggapi ucapan anaknya. Seolah permintaan Hanin adalah hal yang paling sulit untuk dikabulkan.

Hanin menggigiti bibirnya sendiri. Sudah siap dengan penolakan yang akan mengecewakannya. Namun, ucapan Mamanya membuat Hanin berteriak girang.

"Boleh." Itu kata Mama Hanin.

"Makasih banyak, Ma."

"Tapi ingat. Jaga diri baik-baik. Jangan ngerepotin Dafan terus."

Hanin mengangguk tegas, meski Mamanya tak dapat melihat kesungguhan anaknya itu.

Dafan tersenyum, setiap kali melihat Hanin gembira. Raut ketakutan karena petir tadi sudah sirna. Hanya karena sesederhana menetap lebih lama di kota ini.

Selasa, 8 Februari 2022

❤️❤️❤️❤️

Tujuh bab pertama sudah tayang. Gimana sejauh ini?

Aku mau dengar kritik dan saran dari kalian❤️

Salam hangat,
IndAwsoka

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang