Bagian 36

242 24 10
                                    

Hena sudah menyiapkan kejutan kecil untuk anak semata wayangnya yang sedang diajak jalan oleh anak tetangga depan rumahnya. Sebuah kue ulang tahun berukuran sedang, sudah tersaji di meja ruang tamu. Hena tidak sendirian, melainkan ditemani oleh cucu dari keponakannya. Syifa.

"Oma, kok Onti Hanin nggak pulang-pulang?" Syifa bertanya lesu. Sedari tadi, anak itu sudah antusias menyambut Hanin pulang.

Syifa meminta menginap di rumah Hena, karena tahu bahwa hari ini Hanin ulang tahun. Kedua orang tuanya tidak ikut menginap. Sudah menjadi hal biasa, Syifa dititipkan bersama Hanin.

Hena mengusap puncak kepala cucunya yang sudah berkali-kali menguap. "Cipa bobok aja, ya? Di luar kan lagi hujan. Pasti Onti Hanin lagi neduh. Nunggu hujannya reda. Besok aja kita kasih kuenya ya?"

Dengan muka tertekuk, Syifa menuruti ucapan Omanya. Ia melangkah lesu menuju kamar Hanin.

Hena mengantarnya. Sekaligus menyimpan kuenya di kulkas. Seperti yang disampaikan pada Syifa tadi, kejutannya besok saja.

Hena tidak langsung ke kamarnya. Melainkan menunggui Hanin pulang terlebih dahulu. Baru beberapa detik ia duduk di sofa ruang tamu, seseorang sudah mengetuk pintu. Tidak terdengar kendaraan berhenti, karena kalah dengan suara derasnya air yang jatuh ke bumi.

Hena bergegas membukanya. Menemukan anaknya dengan keadaan yang cukup mengenaskan. Rambut basah terkena cipratan air hujan. Beberapa bagian bajunya juga sedikit basah. Yang makin membuat shock adalah melihat wajah sembab anaknya. Tanpa ragu Hena meraih Hanin dalam pelukan. Menuntunnya memasuki rumah. Mengajak duduk di sofa dengan masih dalam dekapan.

Hena merasakan bahwa Hanin menangis lagi. Meski belum mengetahui apa yang terjadi pada anaknya, tapi satu yang sudah pasti Hena ketahui. Dafan melukai putri semata wayangnya!

***

Setelah Hanin mengganti baju, Hena menunggu Hanin di ruang tengah. Menyalakan TV supaya keadaan tidak semenyedihkan tadi. Sebuah teh hangat tergeletak di meja, untuk menghangatkan tubuh Hanin.

Hanin meraih cangkir teh tersebut. Menyesapnya perlahan sembari melirik raut wajah Mamanya yang terlihat mengeras. Menunggu pertanyaan menghujami dirinya.

"Kenapa?"

Akhirnya satu pertanyaan terlontar. Hanin kembali meletakkan cangkir tersebut.

"Kak Dafan ninggalin Hanin di mall," ujar Hanin lirih.

"APA?! Berani-beraninya dia ngelakuin itu ke kamu?!" seru Hena tak terima.

"Dia nerima telfon sebelum kita mau pulang. Nggak tahu dari siapa. Setelah itu dia nyelonong gitu aja," adu Hanin tanpa menyebut nama Lena yang sempat disebut oleh Dafan tadi.

"Terus kamu pulang naik apa tadi?"

"Taksi, Ma ...."

Hena mengembuskan napas kasar. Kedua lengannya terlipat di dada. Tatapan matanya menyorot tajam ke depan. Seolah betulan ada Dafan di sana.

"Nggak usah temuin anak itu lagi!" ucap Hena tegas. Penuh penekanan.

Hanin hanya mengangguk lemah. Sepakat dengan perintah Mamanya. Ia merasa miris dengan dirinya sendiri. Di hari ulang tahunnya yang diawali dengan kisah manis, justru harus ditutup dengan kisah yang amat pahit seperti sekarang ini. Tahu begini, ia akan menolak ajakan Dafan pagi tadi.

***

Hanin terbangun oleh panggilan pelan seseorang. Perlahan ia terjaga. Mengucek matanya. Menemukan mamanya berdiri dengan pakaian rapi di ambang pintu kamarnya.

Yang mengejutkan adalah di kedua tangan Mamanya, terdapat sebuah kue ulang tahun dengan sebuah lilin yang sudah dinyalakan. Hanin tersenyum senang. Bangkit dari tidurnya.

Hena berjalan mendekat. Seseorang di sebelahnya sudah mengacir duluan menerjang Hanin. Syifa dan Hena mengucap selamat ulang tahun seraya bersamaan. Membuat Hanin tersenyum penuh haru sembari memeluk keduanya. Bonus mencium gemas pipi Syifa berkali-kali.

"Makasih ya, Ma, Cipa," ucap Hanin tulus.

"Sekarang, Cipa potong kuenya dulu, ya. Oma mau ngomong dulu sama Onti."

Dengan hati gembira, Syifa meraih pisau plastik untuk kue, dan ia pun beraksi memotong kue tersebut sesuai keinginan hati.

Hanin mengikuti Mamanya keluar kamar. Bertanya ada apa. Lalu raut Mamanya langsung berubah menjadi serius.

"Ada yang mau ketemu sama kamu, Nak," ucap Mama Hanin lembut, sembari menggenggam kedua jemari anaknya.

Dafan!

Satu nama itu sontak terlintas di benak Hanin. Sudah pasti cowok itu menemuinya untuk memberi penjelasan atas tindakannya semalam. Hanin mencebikkan bibir.

"Nggak mau. Usir dia aja," ucap Hanin terang-terangan. Tak habis pikir juga dengan Mamanya. Mengapa menyuruhnya menemui Dafan. Padahal semalam Mamanya sendiri yang menyuruhnya untuk tak bertemu Dafan lagi.

"Ayo. Turun dulu ...," bujuk Hena lagi. Menuntun anaknya menuruni tangga satu demi satu.

Tiba di ruang tamu, langkah Hanin terhenti. Tubuhnya sektika kaku. Seolah seluruh syarafnya tidak dapat berfungsi.

Dua orang duduk di sofa tersebut. Salah satunya segera bangkit, begitu Hanin datang. Ketika orang itu maju berniat mendekati Hanin, Hanin justru mundur satu langkah. Seolah orang tersebut adalah penjahat yang harus Hanin hindari.

"Nak ...,"

Kini orang tersebut memanggil Hanin. Suaranya menyaratkan kerinduan yang amat mendalam. Satu tangannya terulur. Bermaksud menjangkau Hanin.

Hanin justru sebaliknya. Kedua tangannya mengepal keras. Sorot matanya tajam menghunus tepat ke manik mata lawan bicaranya. Napasnya tiba-tiba memburu.

"Papa kangen, Nak ...," ucap orang itu dengan menyebut dirinya "Papa".

Mendengarnya, emosi Hanin makin memuncak. Tanpa kata yang terucap dari bibir Hanin, ia berlari. Kembali naik ke atas. Kali ini tidak ke kamarnya, karena di sana ada Syifa. Ia lebih memilih masuk ke dalam kamar Mamanya. Meninggalkan tiga orang dalam kebisuan dan ketegangan.

Setelahnya, tubuh Hanin luruh di balik pintu. Tangisnya pecah dalam diam. Ia benci setengah mati melihat Papanya. Apalagi, dengan percaya dirinya, Papanya membawa istri barunya menginjakkan kaki di rumah ini. Dan yang makin membuat tak habis pikir, kenapa Mamanya yang biasanya mengusir Papanya dengan keras, justru membiarkan dua penjahat itu masuk ke rumahnya lagi?

Hanin tidak mengerti. Mengapa di usia barunya yang menginjak 19 tahun ini, dihujami hal tidak menyenangkan bertubi-tubi? Apa memang tumbuh dewasa semenyakitkan ini?

Semalam kepergian Dafan. Pagi ini kedatangan Papanya. Dua kejadian bertolak belakang yang sama-sama membuat Hanin hati Hanin berdenyut sakit.

Rabu, 9 Maret 2022

❤️❤️❤️❤️

Peluk Hanin erat-erat!

Huftttt. Makin keteteran wkwk. Bank bab sudah habis. Sementara tugas di dunia nyata makin menggunung. Tapi, nggak papa hehe.

Salam hangat,
IndAwsoka

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang