Bagian 21

238 28 2
                                    

Hanin berdiri di depan gerbang hitam dengan papan bertuliskan "Kos Putri". Gadis itu mencangklong ransel cokelat yang terlihat menggembung, berisi baju-bajunya untuk 3 hari ke depan.

"Makasih, Kak. Gue masuk dulu," ucap Hanin pada Dafan yang berdiri di sebelahnya.

"Oke. Ntar malem gue jemput lagi."

Hanin berbalik badan. "Nggak usahh! Gue bisa cari makan sendiri!"

Dafan tak mempedulikan. Cowok itu berjalan ke arah rumah kontrakannya yang terletak tak jauh dari kos tersebut.

Mami Kos yang tadi sudah dipanggil oleh Dafan, keluar dari rumah yang bersebelahan dengan kos-kosan putri miliknya. Wajahnya berseri-seri, saat tahu ada yang mau menyewa kosannya lagi.

"Nah, kan! Kosan Mami ini terbukti bagus, kan! Sampe kamu ke sini lagi!" kata Mami Kos penuh percaya diri.

Hanin mengusap tengkuknya yang tak gatal. Dafan sudah terlanjur pergi. Ia harus menghadapi sendiri Mami Kosnya ini.

Mami Kos membukakan gerbang. Menyerahkan salah satu kunci kamar di lantai 2. Kamar yang sama dengan yang ditempati Hanin beberapa minggu lalu.

"Di sini mau ambil harian, mingguan, atau bulanan, Nduk?" tanya Mami Kos yang mengantar Hanin sampai ke atas.

"Harian aja, Mi. Saya cuma 4 Hari di sini," balas Hanin santun.

"Lahhh! Ndak seminggu sekalian, Nduk?"

Hanin menggeleng pelan, disertai senyuman kecil.

"Kamu ndak jadi kuliah di sini?"

Senyum tulus Hanin mulai memudar. Ia masih benci mendengar pertanyaan seperti itu. Dirinya masih belum bisa move on!

Dengan berat hati, Hanin membalas, "Belum rezeki saya, Mi ...."

"Terus kamu ke sini ngapain lagi, Nduk? Kalo nggak di sini, mau lanjut ke mana jadinya?"

Hanin makin pusing mendengar pernyataan beruntun Mami Kos. Ia harus segera masuk kamar. Mengistirahatkan hati dan otaknya karena menghadapi pemilik kos ini.

"Mohon maaf, Mi. Hanin pamit masuk dulu. Terima kasih sudah diantar sampai sini."

Mami Kos akhirnya mau mengerti. Mempersilakan penyewa kamar tersebut masuk. Setelahnya ia pun turun.

***

Hanin meletakkan ranselnya di samping spring bed tersebut. Lalu mengempaskan diri menatap langit-langit kamar. Memejamkan mata. Tetapi pikirannya berkelana.

Dua hari sejak ia mengalami penolakan, rasa sakitnya belum reda seratus persen. Bahkan ketika orang lain bertanya, justru ia diserang rasa bimbang dan malu. Jika tak dijawab, pasti orang itu akan tersinggung. Ketika dijawab, perasaan malu dan kesal itu menghinggapi diri Hanin.

Ya, seperti itu rasanya. Tak mengenakkan! Batinnya masih sering bertanya-tanya, "Kenapa gue bisa gagal?"

Ia merasa usahanya sudah cukup keras selama ini. Belajar hingga tak kenal waktu. Mengabaikan banyak hal demi satu tujuan yang ia impikan.

Tidak, ia tidak marah kepada Tuhan. Ia justru marah terhadap dirinya sendiri. Hanin belum bisa menerima penolakan itu dengan lapang dada. Kecewa pada diri sendiri, tak ada obatnya.

Namun, ia juga berpikir bahwa usaha orang lain, mungkin lebih keras darinya. Hanin tidak mengikuti bimbel. Hanya belajar otodidak. Mungkin saja, mereka yang diterima adalah orang yang jam terbang belajarnya sudah sangat padat.

Pun dengan doanya. Barangkali doa yang Hanin pinta pada Yang Maha Kuasa, masih belum cukup.

Atau justru, di balik semua kegagalan yang di alaminya ini, akan ia dapatkan sesuatu lain yang lebih menggembirakan hati. Tuhan masih ingin melihat Hanin berjuang. Entah dengan cara apa, Hanin belum menjatuhkan pilihan. Sekarang, Hanin hanya ingin istirahat lebih dulu. Tidur!

***

Tidur Hanin terusik oleh suara keras dari audio yang entah dari mana asalnya. Gadis tersebut mengerjapkan mata berkali-kali. Masih berusaha mengembalikan kesadarannya yang belum sepenuhnya terkumpul.

"Siapa sih yang nyetel lagu keras-keras begitu?" gumam Hanin kesal.

Suara musik dangdut itu diiringi suara backing vokal yang sama sekali tidak membaur. Bahkan dapat masuk golongan MerDu, alias merusak dunia!

Hanin bangkit dari kasur. Berjalan sempoyongan ke arah pintu. Melongokkan kepala serta menajamkan telinga. Rupanya, kamar di samping kanannya lah biang keroknya.

"Ke ganggu ya?"

Hanin terperanjat di tempat. Bahkan kepala gadis tersebut hampir terantuk daun pintu. Suara tersebut tiba-tiba muncul dari arah kiri, ketika Hanin menoleh ke kanan.

Hanin memperbaiki posisi berdirinya. Menetralkan jantungnya yang masih berdegup kencang. Untung dirinya tidak memiliki riwayat penyakit jantung!

"Eh kamu kaget? Maap banget, maap!" kata cewek tersebut penuh penyesalan.

Hanin tersenyum kaku. "Enggak, nggak papa, kok, Mbak."

"Hehe. Namanya Inul! Gagal jadi biduan di kampung, malah adu nasib di sini!" lanjut cewek dengan tangan bersedekap dada. Menjelaskan pada Hanin tentang si biang kerok pengganggu tidurnya tersebut.

Hanin hanya terkekeh kecil. "Beneran namanya Inul?" tanya Hanin masih tak percaya.

"Nggak tau dah! Orang-orang nyebutnya gitu! Harus sabar-sabar ya karena sebelahan sama kamar dia!"

Hanin sekarang paham, mengapa Mami Kos memilih mengontrak di rumah lain. Hanin sudah membuktikannya sendiri. Sungguh sangat mengganggu bagi seorang "pemuja ketenangan" seperti Hanin.

"Lo—ehm kamu sendiri namanya siapa?"

Hanin lupa dirinya berada di mana. Segera ia mengubah panggilan tersebut.

"Kenalin. Madya."

Hanin menjabat tangan Madya. Menyebutkan namanya.

"Kamu udah lama kos di sini?"

"Ya. Sejak semester satu lah."

"Oh, berarti kamu kating, ya?"

Madya mengibaskan tangannya. "Nggak usah gitu lah. Panggil nama aja, tetep."

Hanin mengangguk paham.

"Maba jurusan apa?" tanya Madya pada Hanin.

Hanin mengembuskan napas lelah mendapat pertanyaan ini untuk ke dua kali di hari yang sama. Seketika ia berpikir telah mengambil langkah yang salah, karena berkunjung ke kota ini lagi.

Melihat raut wajah Hanin yang berubah sendu, Madya jadi merasa tak enak hati.

"Eh, maap. Aku nggak tanya dulu kamu ada urusan apa ya di sini. Karena biasanya yang kos di sini ya buat tujuan kuliah."

Hanin kembali berusaha menormalkan dirinya sendiri. "Nggak papa, kok, Mad. Aku belum lolos jalur apa pun. Jadi, masih mau liburan aja dulu di sini."

Madya mengangguk paham. Lalu ia pamit masuk ke kamarnya yang berada di ujung sana. Tak lupa Madya memberi pesan agar Hanin tidak sungkan meminta bantuan pada Madya.

Selepas kepergian Madya, Hanin mengambil ponselnya. Mengetikkan sesuatu di sana. Setelahnya ia memutuskan untuk mandi karena bulan sudah menggantikan peran matahari.

Selasa, 22 Februari 2022

❤️❤️❤️❤️

22022022

Tanggalnya cangtip!

Anw, ada-ada aja sih tetangga kos Hanin yang namanya Inul itu!

Pasti kalian juga punya, kan, temen yang sama kayak Inul. Suaranya MerDu banget, xixi!

Terima kasih, sudah berkenan baca hingga bab ini.

Tunggu bab berikutnya, ya!

Salam hangat,
IndAwsoka

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang