Niatan untuk menonton "konser" satu lagu saja, tak berjalan sesuai rencana. Mereka berdua stay di tempat itu hingga akhir pertunjukan. Makin malam, lebih banyak pengunjung yang ikut bergabung bersama mereka. Para pemusik itu pintar memilih tempat yang strategis.
Kini Dafan dan Hanin sudah dalam perjalanan menuju kosan Hanin. Namun, baru setengah perjalanan, rintik hujan mulai menetes satu demi satu. Sebelum makin bertambah deras, Dafan menepikan motornya di depan sebuah ruko yang sudah tutup, terlebih dahulu.
"Lo belum ngantuk, 'kan?"
"Belum."
"Tunggu reda aja, ya, Nin. Gue lupa, minjem motor doang, nggak minjem jas hujan sekalian."
Hanin hanya mengiyakan.
Dafan turun dari jok motornya. Membiarkan Hanin masih duduk di boncengan.
"Ini bukan motor lo, Kak?"
"Bukan. Punya temen gue. Motor gue malah dibawa pulang sama temen gue yang pulang kampung ke Pati."
"Lo nggak marah?" tanya Hanin lagi.
Dafan mengedikkan bahu. "Marah kenapa?"
"Ya itu, motor lo dibawa gitu aja."
Dafan terkekeh kecil. "Kami ngontrak di situ udah dari awal semester. Istilahnya, udah kayak keluarga. Jadi, ya hal pinjam-meminjam itu udah biasa bagi kami. Pinjem duit, peralatan mandi, baju, sampe motor pun ga masalah. Palingan cek-cok dikitlah," terang Dafan.
Dafan langsung tersadar, ketika Hanin mengusap kedua lengannya sendiri. Bahwa gadis itu tidak memakai jaket. Hanya kaos berlengan panjang. Meski begitu, tetap saja tak dapat menghalau angin yang menerpa cukup kencang.
Melihat hal itu, Dafan segera melepas jaket miliknya. Dan diangsurkan jaket berwarna hitam pekat itu pada Hanin.
"Buat apa?" tanya Hanin bingung melihat Dafan menjulurkan jaket di hadapannya.
"Buat ngelap jalanan basah!" jawab Dafan kesal.
"Ck! Ya buat lo pakai, lah, Dodol!" geram Dafan.
"Oh .... Nggak usah. Makasih."
"Tenang aja! Nggak bau ketek gue, kali!"
Hanin menatap horor jaket Dafan.
"Nggak usah ngeyel. Udah malem. Anginnya kenceng. Lagian siapa suruh lo nggak pakai jaket?" omel Dafan sembari menyampirkan jaket tersebut di bahu Hanin.
Hanin membetulkan letak jaket tersebut. "Kan tadi gue buru-buru."
"Iya deh iya!"
"Thanks, anyway."
Sejenak suasana kembali lengang. Hujan makin deras. Beberapa orang makin banyak yang memilih untuk menepi juga. Menghindari basah kuyup.
Lalu, Dafan menangkap Hanin yang tengah menutupi mulutnya yang menguap. Matanya juga mulai berair. Beberapa kali pula gadis tersebut mengerjapkan matanya.
"Lo ngantuk?"
"Belum."
"Selalu. Ucapan sama tindakan nggak pernah sinkron!"
"Belum terlalu, maksud gue." Hanin membela diri.
"Emang tadi di kos nggak tidur?"
"Boro-boro. Gue keasikan belajar buat besok."
"Astaga, Hanin! Gue sampe lupa kalo tujuan kita ke sini tuh bukan buat jalan-jalan. Tapi nganter lo ujian besok. Bodoh banget sih, gue!"
"Nggak papa."
Sesaat kemudian, hujan mulai berangsur reda. Mereka melanjutkan perjalanan karena rintiknya tinggal tetes-tetes saja.
Selama perjalanan, lengan Hanin ditarik Dafan untuk melingkari perutnya. Hanin tak banyak bicara. Justru karena rasa kantuknya yang makin menyerang kuat, Hanin jadi menyandarkan kepalanya di punggung kokoh Dafan.
***
Dafan memanggil Hanin berulang kali, tetapi tak ada sahutan. Gadis itu masih menempel di punggung belakangnya. Dafan jadi sedikit merasa bersalah karena tidak memperhatikan situasi dan kondisi.
Kini Dafan menepuk pelan punggung tangan Hanin yang melingkari perutnya. Dengan gerakan yang sama pelannya, Dafan mencoba turun dari motor lebih dulu.
Hanin mulai terusik dengan gerakan itu. Membuatnya mengerjapkan mata. Menyadari bahwa mereka telah sampai.
"Udah nyampe dari tadi?" tanya Hanin sembari mengucek mata.
"Belum. Barusan."
"Oke, kalo gitu gue masuk dulu. Thank y—"
"Besok jam berapa ujiannya?" Dafan memotong ucapan Hanin.
"Setelah dhuhur."
"Oke. Gue jemput lagi."
Hanin mengangguk saja.
"Gue masuk—"
"Nin ...."
Dafan memanggil lagi. Memotong ucapan Hanin yang kedua kali.
"Apa sih, Kak?" tanya Hanin mulai kesal.
"Sori, karena gue, lo nggak bisa istirahat malem ini."
"Ck! Kan udah gue bilang tadi, nggak papa," kata Hanin melembut. "Justru kalo sekarang gue nggak masuk, lo bakal gue salahin, Kak."
Dafan terkekeh pelan. Menjitak kecil kepala Hanin yang masih terbalut helm.
"Oke. Masuk sana. Good night."
Setelah itu, Hanin benar-benar masuk ke kosan. Namun, rasanya ada yang mengganjal. Tetapi baru ia sadari kala sudah sampai di kamarnya.
Jaket Dafan masih membalut tubuh mungilnya!
***
Dafan kembali menerjang angin malam yang hampir larut. Beruntung ia memilih mengontrak sebuah rumah sederhana bersama ketiga temannya. Sehingga, tak perlu memikirkan jam malam yang biasanya diberlakukan di beberapa tempat kos.
Ia juga memilihkan Hanin kosan yang tidak mematok jam malam, tetapi di area yang menurutnya cukup aman. Dari kosan Hanin ke kontrakannya hanya ditempuh waktu lima menit, menggunakan sepeda motor.
Setibanya ia di kontrakan, sudah ada teman sekamarnya yang menunggu di luar dengan tangan bersedekap dada.
"Nih, gue balikin motor lo, Ka," ujar Dafan sembari menyerahkan kunci motor pada Oka.
"Enteng banget, lo, ya. Pergi bilangnya sebentar. Eh nggak taunya ampe malem begini!" kesal Oka dengan urat leher yang terlihat menegang.
Dafan menepuk pelan pundak Oka. "Sori, Bro. Di luar dugaan."
"Minggir, gue mau cari makan."
Oka menyingkirkan tubuh Dafan.
Dafan tak ambil pusing dengan sikap temannya itu. Sudah biasa, pikirnya. Toh nanti juga akan kembali seperti biasa lagi.
Biar saja Oka kelaparan, yang penting Hanin tidak, kekehnya dalam hati.
Sabtu, 5 Februari 2022
❤️❤️❤️❤️
Anak kosan mana suaranyaaa?
Ada yang senasib sama yang Dafan rasain?
Jangan lupa like dan komennya, ya.
Salam hangat,
IndAwsoka
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada Orang yang Sama (TAMAT)
RomanceSiapa bilang, kenangan dapat pudar oleh waktu? Siapa bilang, mencintai orang yang sama sejak lama, hanyalah omong kosong? Siapa bilang, cinta dalam diam hanya akan berujung pada rasa sakit? Siapa bilang? Siapa bilang? **** Selamat datang! Mulai 1...