Frekuensi Hanin keluar rumah makin berkurang. Bahkan mau menyapu halaman rumahnya saja Hanin enggan. Bukan apa-apa. Tapi karena Hanin sudah seperti artis yang diikuti "paparazi" setiap waktu.
Ya, siapa lagi paparazi itu jika bukan Dafan? Berkali-kali cowok tersebut masih nekat menemui Hanin. Bahkan tempo hari juga Dafan dimarahi Hena lagi. Tapi Dafan tetap keras kepala. Tak menghiraukan peringatan Hena.
Kini, Hanin sedang mengintip dari balik jendela. Memastikan tidak ada yang memata-matainya saat ini. Setelah dirasa aman terkendali, Hanin membuka pintu rumahnya perlahan-lahan.
Hanin hendak membeli ayam penyet di depan komplek. Karena pagi tadi, Mamanya tidak sempat masak. Pun, sejak pagi Hanin belum menyantap sesuap nasi.
Usahanya sia-sia! Dafan segera berlari mendekati rumah Hanin begitu melihat Hanin mengeluarkan motornya dari pekarangan rumahnya.
"Plis, plis, plis! Sebentar aja. Dengerin penjelasan gue dulu!" pinta Dafan ribuan kali. Otak Dafan kini berpikir cerdik. Mengambil kunci motor Hanin dari tempatnya.
Hanin mendesah geram. Sudah muak dengan kelakuan Dafan beberapa waktu belakangan ini.
Ketika Dafan hendak membuka mulutnya, dari arah belakang datanglah seseorang mengendarai sepeda motornya.
Hanin tersenyum miring. Sudah hafal dengan muka cewek bernama Lena yang selama ini diprioritaskan oleh Dafan.
"Balikin kunci motor gue! Pacar lo dateng tuh!"
Lena mendekat. Turun dari motornya.
"Ck! Gue bukan-"
Hanin segera memotong ucapan Lena. "Gue nggak mau tahu apa hubungan kalian! Gue nggak peduli! Yang gue mau kalian jauh-jauh dari hidup gue!" seru Hanin tegas dan jengah.
"GUE ADIKNYA DAFAN!" ucap Lena mulai emosi menghadapi Hanin.
"Lo sama Kak Azam sama aja!" Hanin menunjuk dada Dafan keras-keras.
"Dia beneran adek gue, Nin! Adek! Dengerin penjelasan gue dulu!"
Di tengah teriknya matahari, mereka berdebat hebat. Panasnya bukan hanya di luar, tetapi menjalar hingga ke hati.
"Lena itu adik sepupu gue! Satu-satunya! Lo udah tahu perihal Namira, 'kan? Harusnya lo paham, seberapa sayangnya gue ke Lena karena sekarang cuma dia saudara yang gue punya. Gue nggak mau ngulangin kesalahan yang sama, makanya sebisa mungkin gue jagain Lena melebihi gue jaga diri gue sendiri."
Hanin terdiam. Mencerna setiap penjelasan Dafan baik-baik.
"Ini salah gue, karena ninggalin lo gitu aja di Mall saat hari ulang tahun lo. Tanpa penjelasan apapun. Karena pada waktu itu Lena jatuh dari motor. Gue kalut bukan main denger kabar itu. Makanya gue langsung buru-buru nyemperin Lena, sampe gue lupa sama lo. Maafin gue, Nin. Maaf...."
Hanin kini dapat melihat ketulusan ucapan Dafan. Perasaan bersalahnya terpancar begitu besar. Hati Hanin serasa diremas begitu kencang. Ia jadi malu sendiri, karena sudah bersikap kekanak-kanakan seperti ini.
"Udah clear, 'kan? Nih makanan buat lo, Daf. Gue balik dulu. Panas!" ucap Lena yang sudah tidak betah berada lebih lama di tempat tersebut.
Hanin menundukkan kepala. Di satu sisi ia merasa lega, di sisi lain rasa malu menggerogoti dirinya.
"Nin...," panggil Dafan pelan.
"Gue yang kekanak-kanakan, Kak," aku Hanin lirih.
"Mau ke mana? Biar gue anter," tawar Dafan sembari menyerahkan kunci motor Hanin kembali.
"Nggak jadi," ucap Hanin. Buru-buru memasukkan motornya ke halaman rumahnya lagi.
Dafan mengikuti Hanin. Duduk di teras rumah. Keduanya diam selama beberapa saat. Memberi jeda dari perdebatan hebat tadi.
"Lo nggak kekanak-kanakan. Lo cuma kecewa dengan sikap gue. Ya kan?"
Hanin masih bungkam.
"Jujur, selama beberapa hari kemarin, gue kalut banget, Nin. Gue takut kehilangan lo. Entah ini terlalu cepat atau enggak, tapi gue harus ngaku ini di depan lo."
Hanin menoleh pada Dafan.
"Gue sayang sama lo.... Sebagai adik."
Hanin terbelalak. Jantungnya seolah dihantam batu yang begitu besar. Menyakitkan. Membuat Hanin memejamkan mata dan mengembuskan napas kasar.
".... Sekaligus orang yang berhasil curi hati gue tanpa permisi, Nin!" lanjut Dafan.
Kini cowok tersebut berpindah jongkok di depan Hanin. Meraih kedua jemari cewek tersebut yang ternyata sudah berkeringat basah.
"Gue sayang sama lo, melebihi gue sayang sama Lena apalagi diri gue sendiri."
Tenggorokan Hanin makin tercekat. Tidak mengerti harus mengatakan apa lagi. Sudut matanya mulai berair.
"Lo sendiri gimana, Nin?" tanya Dafan yang belum beralih dari tempatnya.
"Gue nggak tahu...," balas Hanin lirih sembari menggelengkan kepala keras-keras.
"Jujur sama gue dan perasaan lo sendiri. Lo cemburu sama Lena kan kemarin?" cecar Dafan dengan godaan di ujung kalimatnya.
Hanin melepaskan jemarinya dari Dafan kuat-kuat. Mengusap kedua matanya kasar. Lalu mendorong Dafan menjauh.
"Nggak!" bantah Hanin.
"Kan gue udah pernah bilang. Gue paham sama semua bahasa lo. 'Iya' berarti 'enggak'. 'Enggak' berarti 'iya'."
"Serah lo, Kak!"
Dafan tersenyum senang. Sekarang Haninnya sudah kembali.
"Nggak papa, sekarang lo belum mau mengakui perasaan lo sendiri. Gue lega karena lo udah tahu gimana perasaan gue yang sebenernya ke lo. Kalo udah berani mengakui perasaan lo sendiri, bilang ya, Nin. Gue bakal terus perjuangin lo!"
Hanin jadi semakin tak enak hati mendengar ucapan tulus Dafan. Namun, untuk lantang mengucapkan hal yang sama, Hanin tak berani. Ada sebagian dalam dirinya yang mencegahnya melakukan hal tersebut.
"Ini makanan buat lo aja. Gue denger tadi perut lo keroncongan. Dimakan ya." Setelah mengucapkannya dengan nada jahil, Dafan meninggalkan Hanin yang masih membeku di tempatnya.
Minggu, 13 Maret 2022
❤️❤️❤️❤️
Haiiii!
Akhirnya Hanin-Dafan ga musuhan lagi!
Tapi Dafan tetep aja rese!
Kira-kira, Hanin bakal ngakuin perasaannya, atau enggak ya?
Salam hangat,
IndAwsoka
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada Orang yang Sama (TAMAT)
RomanceSiapa bilang, kenangan dapat pudar oleh waktu? Siapa bilang, mencintai orang yang sama sejak lama, hanyalah omong kosong? Siapa bilang, cinta dalam diam hanya akan berujung pada rasa sakit? Siapa bilang? Siapa bilang? **** Selamat datang! Mulai 1...