Hanin memegang setang motornya erat-erat. Emosi masih menguasai diri Hanin. Namun, akal sehat Hanin juga belum sepenuhnya hilang. Sehingga, tak ada niatan untuk membawa motornya kebut-kebutan demi meluapkan emosinya.
Ia sudah mengirimi Mamanya pesan bahwa ia harus ke minimarket sebentar. Mamanya mengizinkan. Oleh karena itu, Hanin tidak terlalu memikirkan hal apa pun lagi.
Tidak seperti biasanya yang langsung menjadikan minimarket depan komplek sebagai tujuan, Hanin kini sengaja mencari minimarket yang agak jauh. Alasannya adalah untuk menghirup udara luar lebih lama lagi. Dirinya butuh ketenangan, karena di rumahnya, hal tersebut sudah mulai tidak bisa ia nikmati. Terlalu menyesakkan dada.
Hingga dirasa cukup, Hanin mengarahkan motornya ke parkiran minimarket yang lengang tersebut. Hanin melepas topinya. Meletakkannya di dalam jok terlebih dahulu agar tidak ribet. Setelah itu memasuki minimarket tersebut.
Sontak hawa panas di luar sana tergantikan oleh suhu AC yang cukup menyejukkan. Hanin mengitari rak demi rak minimarket. Setelah sebelumnya mengambil keranjang belanja terlebih dahulu.
Hanin mengambil shampoo, sabun mandi, pasta gigi, dan beberapa camilan. Setelah dirasa tidak ada yang tertinggal, Hanin menuju ke bagian kasir. Tidak ada yang mengantri di sana. Sehingga belanjaan Hanin dapat segera dihitung. Hanin menyerahkan kantung belanjanya yang semula dilipat di saku outer bajunya, untuk membawa semua barang tersebut.
Kasir tersebut menyebutkan total belanjaan Hanin. Dengan segera Hanin merogoh saku outer satunya lagi. Namun, seolah ada yang janggal. Mengapa saku sisi kirinya kosong? Di mana dompetnya berada?
Hanin menepuk jidatnya keras-keras. Ia baru ingat bahwa tadi dompetnya belum ia bawa. Ini semua gara-gara kehadiran Dafan. Hanin jadi melupakan hal paling penting yang harusnya ia bawa.
"Mohon maaf, Kak—"
"Biar saya saja yang bayar."
Seseorang di belakang Hanin memotong ucapannya begitu saja. Hanin terbelalak di tempat. Bagiamana tidak, seorang wanita segera sibuk merogoh tas jinjingnya.
Hanin masih belum bisa bertindak apapun karena dihantam rasa terkejutnya. Bahkan ketika kasir tersebut menyerahkan belanjaan kepada Hanin.
Segera tersadar, Hanin melayangkan tatapan tajam pada wanita tersebut. "Nggak usah berlagak jadi pahlawan! Karena sekali perusak rumah tangga, predikat itu tetap akan terus melekat di diri Anda!" ucap Hanin lirih, tetapi suaranya terdengar sangat menusuk.
Hanin meletakkan belanjaan tersebut di meja kasir. Tidak berminat mengambilnya karena yang membayar belanjaan tersebut tak lain dan tak bukan adalah istri Papanya. Hanin tak sudi menerima bantuan darinya.
Tanpa memikirkan apakah Papanya berada di situ dan melihat semua itu atau tidak, Hanin melajukan motornya ke rumah. Dengan tangan kosong. Namun pikiran penuh. Dan juga air mata yang untuk ke sekian kali seolah ingin membanjiri seprei Hanin.
Gadis itu makin tak mengerti. Mengapa perasaannya jadi sesensitif seperti sekarang ini? Di awal usia 19 tahunnya, sudah banyak kesedihan yang menghantamnya. Bahkan hanya dengan mengingat masa lalunya yang menyedihkan, air mata Hanin bisa sewaktu-waktu meluncur begitu saja. Dan ia sungguh membenci dirinya yang lemah seperti ini.
***
Benar saja. Sesampainya ia di rumah, air mata sudah meluncur deras. Mama Hanin yang tengah menyantap makan siangnya sontak bertanya khawatir.
"Hanin ketemu Nenek Lampir itu di minimarket," ucap Hanin sesegukan.
Mamanya menuntun Hanin untuk ke meja makan. Kini menyingkirkan sejenak piring yang masih berisi setengah nasi beserta lauk pauknya tersebut.
"Terus kenapa kamu nangis, Nak?"
"Hanin lupa nggak bawa dompet! Terus dia sok-sokan jadi pahlawan dengan bayarin belanjaan Hanin! Hanin nggak sudi terima barang dari dia!"
Hena mengusap punggung Hanin. Isakannya terdengar memilukan di telinga Hena. Sebagai seorang ibu, dirinya mengerti bahwa menerima orang lain yang sudah menjadi perusak rumah tangga adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan.
"Dengerin Mama, Nak. Mama aja, bisa memaafkan mereka. Masak Hanin sebagai anak nggak bisa memaafkan Papanya sendiri?"
Hanin menatap manik matanya. Sorotan lembut beserta senyum meneduhkan menghiasi wajah Mamanya.
"Kalau Hanin belum bisa nerima Tante Lili, seenggaknya Hanin mau temui Papa...."
"Buat apa, Ma? Buat apa?" tanyanya mulai jengah.
"Kok buat apa? Beliau Papa kamu, Nak. Selamanya akan menjadi Papa kamu." Hena mengulangi pernyataannya.
"Walaupun dia pernah membuat kesalahan yang sangat besar, tapi Mama yakin sekarang dia sudah berubah. Meskipun dia berubah, tapi keadaan kita memang nggak bisa balik seperti awal lagi, Nak. Justru, kita harus memulai hidup yang baru lagi. Hidup berdampingan bersama mereka, tanpa rasa dendam. Mau dicoba ya?"
Isakan Hanin makin kuat. Di sini posisinya tersudutkan. Semua orang seolah mendorong Hanin agar berdamai dengan Papanya. Namun, apakah memang harus begitu?
"Pelan-pelan, Nak. Yang penting, temui saja Papamu dulu. Nggak usah memikirkan yang lain lagi. Mengerti?"
Hanin mengembuskan napas keras. Beruntung ingusnya tidak ikut tersembur keluar. Dengan amat terpaksa, Hanin menganggukkan kepala. Dan Mamanya meraih Hanin dalam dekapan penuh kebanggaan.
Tak lama, Mama kembali melepaskan pelukannya.
"Kenapa tadi bisa lupa bawa dompet?" tanya Hena heran.
"Gara-gara Kak Dafan. Hanin buru-buru pergi dari rumah," ucap Hanin. Mengusap kedua matanya menggunakan tangan. Menghilangkan bekas tangisannya.
"Mama juga tadi ketemu."
Hanin terbelalak. "Terus, Ma?"
"Mama tegasin ke dia, buat nggak nemuin kamu lagi. Bisa-bisanya dia nyakitin anak kesayangan Mama ini."
Hanin terdiam. Ucapan Mamanya tiba-tiba terngiang. Bukan hanya yang barusan. Tetapi beberapa saat lalu. Yang intinya adalah Hanin harus memaafkan Papanya.
"Ehm, Ma?"
Hena sedang melanjutkan makannya. Berdeham singkat. Menyuruh Hanin melanjutkan ucapannya.
"Kata Mama, Hanin harus maafin Papa.... Apa itu artinya Hanin juga harus maafin Kak Dafan?"
Gerakan mengunyah Hena jadi terhambat. Lalu segera menelannya agar bisa menjawab pertanyaan anaknya.
"Dia udah nyakitin kamu."
"Papa juga sama," sindir Hanin.
"Dafan orang lain."
"Semenjak Papa pergi, Papa juga sudah menjadi orang lain di hidup Hanin."
Hena mengembuskan napas kasar. Sekarang dua nama tersebut seolah sedang dibela di meja makan tersebut. Mamanya membela mantan suaminya. Sementara Hanin membela Dafan.
Lho? Hanin tersentak sendiri. Mengapa juga ia susah payah berusaha mengembalikan image Dafan di depan Mamanya. Padahal, kan ia sendiri selama ini tak mau menemui Dafan. Apalagi, Mamanya sudah menegaskan kepada cowok itu, agar menjauhi Hanin. Harusnya, biarkan saja, bukan?
"Terus kamu maunya gimana? Mau baikan lagi sama Dafan?"
Tanpa pikir panjang, jawaban Hanin hanya, "Enggak tahu."
Sabtu, 12 Maret 2022
❤️❤️❤️❤️
Gemes sama Hanin yang nggak bisa mengakui perasaannya sendiri.
Hadehhh!
Siapa yang berharap kapal Hanin-Dafan balik kembali?
Salam hangat,
IndAwsoka
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada Orang yang Sama (TAMAT)
RomanceSiapa bilang, kenangan dapat pudar oleh waktu? Siapa bilang, mencintai orang yang sama sejak lama, hanyalah omong kosong? Siapa bilang, cinta dalam diam hanya akan berujung pada rasa sakit? Siapa bilang? Siapa bilang? **** Selamat datang! Mulai 1...