Bagian 15

341 46 7
                                    

Ponsel yang tengah Hanin mainkan bergetar sekali. Pertanda pesan masuk. Gadis itu tengah menonton vlog Youtuber yang ia suka. Nihongo Mantappu. Channel YouTube milik Mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa kuliah di Jepang bernama Jerome Pollin. Dengan menonton channel YouTube tersebut, Hanin sedikit banyak termotivasi.

Setelah menekan tombol pause, Hanin menggulirkan layarnya. Beralih ke aplikasi chat berwarna hijau. Rupanya Kak Azam yang mengiriminya pesan.

Lagi apa, Nin?

Begitu isi pesan dari Azam. Langsung saja senyumnya merekah. Suasana hatinya mendadak cerah, secerah matahari di siang ini.

Nonton video, Kak, balas Hanin.

Kapan ke Semarang lagi?

Nunggu pengumuman dulu. Masih seminggu lagi pengumumannya.

Kemarin kita belum sempat jalan-jalan, Nin. Aku pengin ajak kamu keliling Semarang.

Hanin menarik napas dalam. Seolah pesan barusan menyedot habis oksigen yang ada di kamarnya. Sebelum kembali mengetikkan pesan untuk Azam.

Ya. Nanti Hanin ke sana lagi, ya, Kak.

Ya udah. Kakak mau makan siang dulu. Nanti keburu jam istirahatnya habis.

Setelahnya, Hanin masih memandangi room chat milik Azam. Meski namanya sudah tidak "online" lagi, tetapi Hanin selalu suka membaca ulang chatnya akhir-akhir ini bersama Azam.

Namun, di sisi lain, Hanin merasa khawatir. Ia khawatir hasil yang ia tunggu-tunggu tidak berjalan sesuai rencananya. Ia takut, apabila ia gagal di SBMPTN kali ini. Kegagalannya di jalur SNMPTN kemarin membuatnya sedikit trauma.

Akan tetapi, Hanin selalu bisa mengesampingkan rasa khawatir itu ketika membaca pesan dari Azam beberapa hari yang lalu.

Isinya adalah, "Kamu udah berusaha kuat untuk masuk di kampus favoritmu itu. Jadi aku yakin, kamu pasti akan diterima di sana. Kalau aku saja yakin, harusnya kamu lebih lebih lebih yakin dari aku!"

Ya. Begitu. Membuat hati Hanin sedikit tenang. Meski hanya sesaat.

Ketika sedang asik melamun, pintu rumahnya diketuk cukup keras oleh seseorang. Segera Hanin melesat ke depan. Melongok dari jendela. Dan melihat seorang pria berjaket ojek online warna hijau berdiri di depan rumahnya.

Pasti mau tanya alamat, pikir Hanin.

"Maaf, Pak, Bapak mau cari alamat siapa?" tanya Hanin langsung begitu pintu sudah ia buka.

"Dengan Kak Hanin?"

Hanin menaikkan satu alisnya.

Aku?

"Hanin?" beonya seraya menunjuk diri sendiri.

"Ini, Kak. Maaf agak lama. Soalnya tadi antri. Waktu makan siang sih," ujar Bapak itu menjelaskan seraya menyodorkan sebuah plastik berwarna putih pada Hanin.

Plastik tersebut masih belum Hanin ambil. "Mohon maaf, Pak. Tapi saya nggak pesan apa pun hari ini. Mungkin bapak salah alamat."

"Lho, benar kok, Kak. Jalan Cendana nomor 4, Kan? Atas nama Hanin."

Hanin menggaruk belakang rambutnya yang tak gatal.

"Duh, Pak. Alamat dan namanya memang benar. Tapi beneran bukan saya yang pesan itu."

"Ya sudah nggak papa, Kak. Kakak ambil saja. Ini sudah dibayar, kok." Bapak itu makin menyodorkan plastik yang entah berisi apa, pada Hanin.

"Coba Bapak chat orang yang memesan ini, Pak. Siapa yang membelikan ini untuk saya. Kalau tidak jelas orangnya, ya saya nggak mau terima dong, Pak."

Ojek daring itu menuruti ucapan Hanin. Mereka masih sama-sama berdiri di ambang pintu. Menunggu balasan dari Si Pemesan.

"Katanya kasih saja, Kak." Bapak ojol itu membacakan balasannya.

"Bilang ke dia pak. Kalau saya nggak tahu siapa dia, saya nggak akan nerima ini."

Bapak ojol itu menuruti lagi ucapan Hanin. Menjadi perantara pelanggannya.

"Nio," ucap Bapak Ojol itu.

Hanin sempat terbelalak mendengar nama itu disebut. Atas dasar apa Nio mengriminya makanan.

"Ini, Kak." Untuk ke sekian kali, Bapak Ojol itu menyodorkan plastik itu pada Hanin.

Hanin menghela napas berat. "Itu buat Bapak saja, ya. Saya nggak tahu dia memesan apa untuk saya. Tapi saya tahu dia orang baik. Toh tadi Bapak yang mengambil sendiri makanan ini dari penjualnya kan?"

Bapak ojol itu langsung tersenyum sumringah mendengarnya. Setelah mengucap terima kasih berkali-kali, Bapak Ojol itu pergi dari rumah Hanin.

Setelah menutup pintu, ponselnya bergetar lama. Seseorang memanggilnya. Nomor tak dikenal. Ia pun mengangkatnya.

"Kenapa makanan dari gue nggak lo terima?"

Oh, pasti Kak Nio!

Hanin memang belum menyimpan nomor Nio di ponselnya. Waktu itu, hanya Nio yang mencatat nomor Hanin. Sementara Hanin belum ingin menyimpan nomor Nio di daftar kontaknya. Dan sudah pasti, bapak ojol tadi yang memberitahu pada Nio bahwa ia tak mau menerima makanan itu.

"Harusnya gue tanya ke lo, Kak. Atas dasar apa lo ngirimin gue makanan?"

"Emang salah ya, kalo gue ngelakuin itu?"

"Bagi gue ... iya. Gue nggak mau asal nerima sesuatu tanpa alasan yang jelas."

Terdengar helaan napas panjang di seberang sana. "Nggak ada alasan apapun, Nin. Sori kalo itu ganggu kenyamanan lo."

"Sori juga ya, Kak. Lain kali lo nggak perlu repot-repot begitu. Makasih."

Setelahnya, Hanin menutup teleponnya sepihak. Ia jadi mulai risih dengan Nio. Menurutnya, untuk ukuran seseorang yang baru saling kenal, perlakuan Nio kepadanya sudah cukup berlebihan.

Mungkin bagi Nio itu adalah hal sepele. Namun bagi Hanin yang tidak terbiasa akan hal semacam itu, benar-benar mengusik ketenangannya.

Ya, mulai sekarang, Hanin harus mulai tegas pada Nio. Harus!

Rabu, 16 Februari 2022

❤️❤️❤️❤️

Duh, Hanin!

Tadinya buat Emakmu ini aja, Nin, makanannya!

Hadehhhh!

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang