Selepas ashar, Hanin bergegas bersiap karena diajak Dafan ke suatu tempat. Dafan bilang, ia ingin memperkenalkan Hanin kepada "adiknya". Namira.
Dengan perasaan membuncah bercampur haru, Hanin mengiyakan. Kini sudah tampil cantik dengan kaftan putihnya. Tak ketinggalan pashmina berwarna senada yang disampirkan di kedua bahunya.
Dafan muncul di depan rumah Hanin. Mengenakan baju koko putih tulang. Dipadukan dengan celana jeans cream.
"Dah siap?" tanya Dafan memastikan.
Hanin mengangguk. "Gue deg-degan, Kak...," aku Hanin lirih.
Dafan sedikit tergelak. "Kayak mau ketemu calon mertua aja!" seloroh Dafan.
Tak mau membuang waktu lagi, mereka membelah jalan menuju makam Namira. Hanin membonceng Dafan dengan posisi miring. Satu tangannya melingkari pinggang Dafan.
Setibanya di pemakaman, mereka tidak sendirian. Namun, ada juga peziarah lain yang juga sudah duluan di sana. Bertepatan juga hari ini adalah hari Kamis. Jadi, tak heran banyak peziarah yang datang untuk mengirim doa kepada orang yang sudah lebih dulu berpulang.
Dafan menuntun Hanin melewati makam demi makam. Tak perlu kesulitan mencari makam Namira. Karena letaknya di bagian pinggir. Jadi, Dafan yang memang sering ke sana, sudah hafal dengan makam adiknya sendiri.
Dafan berjongkok di depan nisan kayu bertuliskan Namira Putri. Gundukan makam tersebut tidak terlalu tinggi. Pun dengan panjang makam yang memang hanya seukuran bayi pada umumnya.
Hanin ikut berjongkok di samping Dafan. Meraih sejumput bunga tabur yang sebelumnya mereka beli tak jauh dari area pemakaman. Menaburkannya perlahan di atas makam Namira. Dafan membersihkan nisan kayu yang agak berdebu tersebut menggunakan air dari botol plastik yang sengaja ia bawa dari rumah.
"Apa kabar, Dek?" Dafan bermonolog lirih. Namun masih bisa didengar dengan jelas oleh Hanin yang berada di sisinya.
"Lo udah bahagia 'kan di sana?" lanjutnya. Suaranya mulai terdengar serak. "Berbicara" dengan Namira selalu bisa mengaduk emosinya.
"Harus bahagia di sana, ya, Nam. Untuk jutaan kalinya, gue mau bilang maaf. Maaf karena gagal menjadi Kakak yang baik buat lo, Namira...."
Dafan menundukkan kepala. Satu tangannya bertumpu di atas nisan Namira. Satunya lagi menggenggam tanah liat tersebut. Seolah merasakan kehadiran Namira dan bisa mendengar ucapannya.
"Lo jangan pikirin keadaan Papa-Mama yang hingga saat ini masih sering mikirin lo ya, Nam. Lo akan selalu ada di hati mereka. Meski anak yang masih hidup itu sekarang gue."
Hanin tak kuasa mendengar kepiluan Dafan tersebut. Baru kali ini, ia menyaksikan secara langsung, betapa tulusnya kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya yang bahkan sudah tiada. Karena Hanin adalah anak tunggal. Jadi tidak pernah merasakan hangatnya persaudaraan kakak atau pun adik.
"Udah ah! Gue malu, Nam, kalo nangis sekarang. Soalnya gue bawa bidadari buat dikenalin sama lo," ucap Dafan dengan kekehan kecil. Mengusap kedua matanya yang barangkali air matanya sudah merembes lebih dulu.
"Halo, Namira. Kenalin gue Hanin."
Hanin mengikuti Dafan. Mengobrol dengan Namira untuk pertama kalinya.
"Seperti yang Kakak lo bilang tadi, jangan khawatirin apa pun ya. Bahagia di sana."
Dafan menatap Hanin lekat-lekat. Sorot matanya meneduhkan. Bahkan rasanya ia ingin berlama-lama ada di momen seperti ini.
"Doain buat Namira yuk, Kak," ujar Hanin.
Dafan tersenyum. Mengangguk. Lalu keduanya mengirim doa untuk Namira. Sepenuh hati.
"Udah?" Dafan bertanya.
"Gue ngikut aja," sahut Hanin.
Baiklah. Sesi perkenalan antara Hanin dan Namira disudahi. Dafan mengajak Hanin bangkit.
Namun, ketika keduanya berbalik badan, mereka justru dikejutkan oleh dua orang yang berdiri di belakang mereka. Seolah dua orang tersebut tengah menunggu untuk bergantian menjenguk Namira.
"Om, Tante...," sapa Hanin pada orang tua Dafan. Sementara itu Dafan justru terdiam di tempatnya. Tampak tak tertarik dengan kedatangan orang tuanya.
Hanin sendiri jadi kikuk berada di lingkaran ini. Apalagi setelah tahu bahwa hubungan orang tua dengan anak ini tidak berjalan baik. Namun, untuk berlagak mendamaikan mereka, Hanin tidak berani. Siapa ia? Bisa-bisa ia dikatai ikut campur nanti.
Beberapa saat ketegangan itu terjadi. Hingga salah seorang dari mereka berempat kembali membuka suara.
"Dafan...." Ialah Mama Dafan yang memanggil nama putra sulungnya dengan panggilan penuh ... penyesalan?
"Kami udah denger ucapan kamu tadi," lanjut Mama Dafan.
Kini ia mendekatkan diri ke tempat Dafan memaku kakinya. Jemarinya menelusuri garis muka anak sulungnya tersebut. Terlihat jemari tersebut sedikit bergetar. Kedua mata mereka bertatapan dalam, sarat akan kerinduan.
"Maafin Mama, Nak. Maaf."
Akhirnya tangis itu luruh juga. Dan pelukan yang bertahun lamanya tak pernah tersalurkan, kini dapat terulang kembali. Kedua insan tersebut melebur bersama air mata yang membanjiri baju satu sama lain.
"Maafin Mama yang selalu menyalahkan kamu atas penyebab kematian adikmu. Maafin Mama karena nggak pernah perhatian sama kamu. Mama nggak bisa jadi sosok Ibu yang baik buat kamu, Dafan...," ucap Mama Dafan dengan sesegukan.
Dafan melepaskan diri. Mengusap air mata Mamanya. "Iya. Salah Dafan juga yang selalu emosi setiap ngomong sama Mama."
Mama Dafan menggeleng kuat. Tidak membenarkan ucapan bahwa Dafanlah yang salah. Karena sejak awal, dirinyalah yang tidak bisa menerima kenyataan.
"Papa juga minta maaf, Nak...."
Seseorang menyela obrolan Ibu dan anak tersebut. Kini Mama Dafan mundur. Memberi kesempatan kepada suaminya untuk memeluk anaknya yang sudah tumbuh besar dan dewasa.
Tidak seperti istrinya yang tak dapat menahan tangis, Papa Dafan mampu menahan diri. Ayah dan anak itu berpelukan. Air mata Dafan belum surut. Membasahi baju koko Papanya.
Hanin yang menyaksikan bersatunya kembali Dafan dengan kedua orang tuanya, sangat terharu. Butiran air mata sudah menggenangi pelupuknya. Seolah akan tumpah. Tapi sekuat tenaga ia menahannya. Yang ia tampilkan adalah senyum penuh kebahagiaan sekaligus kelegaan.
Rabu, 16 Maret 2022
00.12❤️❤️❤️❤️
Haishhh! Terlalu banyak kata maaf di part ini!
Karena aku sekalian mau minta maaf, kalo aku absen satu hari gara-gara baru mulai nulis jam 11 malem hiks.
Jadinya, baru selesai ditulis sekarang. Ya udah nggak papa. Yang penting up yaa.
Nanti usahain up lagi Bab berikutnya di hari yang sama. Semoga ga kelewat jam 24.00 lagi yaa:(
Makasih yang sudah berkenan menantikan kisah Hanin-Dafan.
Salam hangat,
IndAwsoka
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada Orang yang Sama (TAMAT)
RomanceSiapa bilang, kenangan dapat pudar oleh waktu? Siapa bilang, mencintai orang yang sama sejak lama, hanyalah omong kosong? Siapa bilang, cinta dalam diam hanya akan berujung pada rasa sakit? Siapa bilang? Siapa bilang? **** Selamat datang! Mulai 1...