Bagian 16

295 42 3
                                    

Minggu pagi. Hanin masih belum mempunyai kesibukan apapun. Sama halnya dengan Mamanya yang juga libur bekerja. Mereka berdua tengah duduk di ruang keluarga. Dengan TV menyala. Namun, acara yang sedang tayang tak disimak dengan betul oleh mereka. Ibu-anak itu justru tengah mengobrol santai.

"Ma ...."

Mamanya hanya bergumam pelan.

"Gimana kalo Hanin gagal lagi?" tanya Hanin sendu.

Mama menolehkan kepala. Mendekatkan kembali posisi duduk mereka. Lalu diangkatnya dagu anak semata wayangnya tersebut.

"Emang pernah Mama menuntut Hanin untuk lolos PTN?"

Hanin menatap manik meneduhkan itu. Lalu menggeleng pelan.

"Kalo gitu, apa yang Hanin khawatirkan?"

"Mengecewakan Mama ...," balas Hanin makin lirih.

Kini Mama Hanin tertawa kecil. Mencairkan suasana yang sempat mendung.

"Enggakkk! Enggak pernah. Anak Mama ini nggak pernah mengecewakan Mama. Justru Mama bangga punya Hanin. Kuat. Mandiri. Hebat."

Sebelum air mata Hanin meleleh, gadis tersebut sudah masuk dalam dekapan hangat ibunda tercinta. Di dunia ini, cuma Mamanya yang ia sayang. Sosok yang selalu terlihat tegar dalam segala keadaan. Bahkan ketika pada akhirnya Mamanya harus berperan menjadi sosok ayah sekaligus.

Namun, untuk terus berada dalam satu atap yang sama dengan Mamanya, Hanin harus berpikir ribuan kali. Hanin merasa harus keluar dari zona nyamannya. Juga dari kekangan yang secara tidak langsung diciptakan oleh Mamanya yang overprotektif. Hanin harus keluar dari sangkarnya. Untuk melihat kehidupan dari sudut pandang lain. Juga untuk merasakan kehidupan yang sesungguhnya.

Tengah asyik menikmati momentum haru, pintu depan terdengar diketuk beberapa kali. Mama Hanin bergegas membukakan pintu.

Ketika pintu terbuka, sosok cowok bermata agak sipit berdiri di depan sana. Cowok tersebut mengenakan kaos polos berwarna hitam. Dipadukan celana jeans belel.

"Siapa ya?" tanya Mama Hanin dingin. Tangannya disedekapkan di depan dada.

"Halo, Tante! Perkenalkan saya Nio. Temannya Hanin." Nio memperkenalkan diri seraya mengangsurkan tangan untuk bersalaman.

Namun, beberapa detik tak ada sahutan apa pun dari Mama Hanin. Bahkan untuk bersalaman saja rasanya enggan.

Dengan kikuk Nio menarik tangannya kembali.

"Mau apa datang ke sini?" tanya Mama Hanin dengan nada mengintimidasi yang begitu kentara.

"Kalau boleh saya mau ngajak Hanin keluar, Tante."

"Nggak boleh!" sahut Mama Hanin cepat dan tegas.

Nio masih belum menyerah. Raut wajahnya belum berubah. Masih mempertahankan senyum Pepsodent-nya.

"Sebentar saja kok, Tante."

"Silakan pergi dari rumah saya!"

Setelah mengusir secara terang-terangan, Mama Hanin menutup pintu dengan sedikit keras. Setelahnya menghampiri anak semata wayangnya yang tak tahu apa-apa di dalam sana.

"Siapa, Ma?" tanya Hanin santai. Heran melihat raut kesal Mamanya.

"Siapa Nio?" Mama Hanin balik bertanya.

Membuat Hanin terkejut di tempat.

Nio?

"Tadi yang dateng itu Nio?" tanya Hanin memastikan.

"Jawab pertanyaan Mama tadi, Hanin!"

Hanin menelan ludahnya sedikit kesulitan. "Bukan siapa-siapa, kok, Ma ...."

"Bukan siapa-siapa tapi berani-beraninya ngajak kamu jalan? Jujur sama Mama, Hanin!" kini nada suara Mama Hanin mulai meninggi.

"Beneran, Ma! Dia orang yang kemarin bantu Hanin bawa galon ke rumah doang. Mama inget kan?" kata Hanin berusaha meyakinkan Mamanya.

"Mama nggak suka sama dia. Sopan santunnya kurang. Apalagi pake celana kayak preman. Pokoknya kamu harus jauhin dia!"

Hanin mengiyakan. Sebelum Mamanya meminta, Hanin juga sudah bertekad untuk tidak mengenal lebih jauh Nio.

Hanin tak habis pikir. Apa maksud semua perlakuan Nio kepadanya akhir-akhir ini. Membantunya dua kali. Mengirimkan makanan tanpa diminta. Dan tadi? Datang untuk mengajaknya keluar!

Hell! Bahkan keluar bersama teman perempuan saja Hanin harus melewati beragam larangan dari Mamanya. Hingga Hanin benar-benar tak mempunyai teman. Dan ini, dengan beraninya Nio datang tanpa memberitahunya lebih dulu! Benar-benar tak habis pikir!

***

"Kak Nio ngapain sih tadi ke rumah?!"

Hanin memutuskan untuk menelfon Nio, kala Mamanya sedang beristirahat siang di kamarnya.

"Pengin ngajak lo keluar sebentar aja masa ga boleh?"

"Nggak boleh! Sekarang Kakak udah tahu sendiri kan gimana Mama. Jadi, plisss banget, jangan ke rumah gue lagi."

"Ini adalah bagian dari perjuangan. Kalo gue nyerah gitu aja, tandanya gue lemah!"

"Kak plisss! Kalo Kakak ngotot, justru gue yang tersiksa. Gue yang kena marah Mama terus. Lagian apa maksudnya sih Kakak bersikap gitu?"

"Kalo gue bilang gue tertarik sama lo boleh?"

Hanin tercengang mendengar pernyataan itu.

"Apa yang menarik dari gue? Hidup gue ngebosenin! Nggak ada yang menarik dari gue, Kak!" ujarnya frustrasi.

"Ada. Lonya aja yang nggak bisa liat atau mengakui itu."

"Ya terus?"

"Cukup dengan jangan halangi usaha gue, Nin."

Kamis, 17 Februari 2022

❤️❤️❤️❤️

Ciahhhh!

Nio udah mulai terang-terangan ke Hanin!

Dafan kebalap, Gaisss!

Tapi tenang, Tim Dafan, Nio belum dapet restu dari Mama Hanin.

Ikuti terus perkembangan kisah cinta Hanin, ya!

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang