Jaga diri baik-baik, nanti kita ketemu lagi.
Kalimat terakhir yang masih terekam jelas di ingatan Hanin. Terdengar menyakitkan kala itu. Membuat tangisnya tak terbendung, hingga di sepanjang perjalanan pulang menuju Bekasi. "Nanti"-nya ternyata berlangsung hingga tiga tahun.
Saat ini Hanin sedang diobati di ruang IGD. Dafan dan Azam menunggu di depan ruangan.
Dua orang itu saling diam dengan raut mengeras.
"Lo siapanya Hanin?" Dafan memulai topik itu.
"Harusnya gue yang tanya itu ke lo. Kenapa bisa dia ke rumah gue, sama lo?"
Dafan tersenyum sinis. "Mama Hanin sendiri yang percayain Hanin ke gue."
"Nggak usah ngada-ngada—"
Belum selesai ucapan Azam, Hanin keluar bersama seorang perawat. Jalannya sedikit tertatih akibat luka di sebelah kakinya. Kini, semua luka itu sudah terbalut perban putih. Tidak semengerikan sebelumnya.
"Hanin ...."
Azam dan Dafan bergegas mendekat. Suster mengatakan bahwa hanya luka ringan. Hanin diperbolehkan pulang.
Setelah kepergian perawat itu, Hanin dibawa masuk dalam dekapan hangat Azam. Selama beberapa saat, keduanya hanyut. Mengurai rindu yang selama ini terkumpul.
"Kakak kangen kamu, Nin."
"Hanin juga, Kak," balas Hanin dengan suara sedikit bergetar. Kedua matanya berkaca-kaca. Haru menyelimuti.
Dafan yang melihat itu, mengepalkan kedua jemarinya erat-erat. Tidak mempedulikan telapak tangannya yang bisa saja tergores kukunya sendiri. Karena hal itu tidak seberapa, dibanding remasan tangan tak kasat mata yang meremas hati Dafan.
"Gue tunggu lo di kos, Nin."
Dafan berbicara singkat. Lalu meninggalkan dua orang itu. Memberi waktu pada mereka. Karena tidak mungkin juga, ia memaksakan egonya, agar Hanin pulang bersamanya menggunakan motor.
***
"Udah tiga tahun, ya, Nin." Azam membuka obrolan sembari matanya fokus melihat jalanan di depan.
"Iya. Lama banget, ya, Kak."
"Gimana? Udah diterima atau lagi mau ujian?"
"Kakak bisa tahu aku mau masuk kuliah? Dari siapa?" Hanin bertanya heran.
"Ya tahu. Aku ingat kamu. Segalanya tentang kamu. Dulu, saat kita terakhir ketemu, kamu kelas 1 SMA. Aku kelas 3. Dan aku tahu, kamu tipe orang yang selalu mau mengusahakan mimpi-mimpi kamu."
Hati Hanin menghangat mendengar ucapan Azam itu. Apalagi saat tahu, bahwa Azam masih mengingat segala tentangnya.
"Iya. Hanin baru selesai ujian kemarin. Doain, ya, Kak. Semoga Hanin bisa keterima dan bisa menetap di sini."
Azam mengangguk. Sebelah tangannya mengelus puncak kepala Hanin. Membuat jantung Hanin berdetak tidak sesuai ritmenya.
"Kak Azam kok rapi banget. Dari mana tadi?" Hanin memperhatikan penampilan Azam yang mirip seperti pegawai kantoran.
Kemeja biru muda yang lengannya digulung hingga siku. Celana bahan hitam dan sepatu pantofel berwarna selaras. Sangat cocok dipakai di tubuh tegap cowok itu.
"Kebetulan, aku ketrima kerja di kantor yang meski nggak terlalu besar, tapi lumayan lah buat anak lulusan SMK kayak aku."
"Wah, Kak Azam keren!" puji Hanin terang-terangan.
"Nggak juga, kok, Nin. Ini juga berkat campur tangan Mama. Ada kenalan Mama di sana. Jadi, ya, nggak ada yang perlu dibanggain."
Hanin tersenyum getir kala Azam menyeret mamanya ke dalam obrolan mereka. Ia teringat, hubungan orang tua mereka yang tidak baik. Terakhir bertemu, Mama Hanin dan Azam bertengkar hebat karena penipuan arisan online yang cukup merugikan Mama Hanin. Mama Hanin tak terima, sehingga ketika mereka tengah berlibur bersama di Semarang, memajukan kepulangan secepat mungkin. Dan setelah kejadian itu, Hanin dan Azam tak pernah bertemu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada Orang yang Sama (TAMAT)
عاطفيةSiapa bilang, kenangan dapat pudar oleh waktu? Siapa bilang, mencintai orang yang sama sejak lama, hanyalah omong kosong? Siapa bilang, cinta dalam diam hanya akan berujung pada rasa sakit? Siapa bilang? Siapa bilang? **** Selamat datang! Mulai 1...