3. Keharusan

16 1 0
                                    

Disinilah Retta sekarang. Di sebuah ruangan private yang ada di rumah sakit Harapan Keluarga. Orang-orang yang berada dalam ruangan ini ialah orang-orang penting.

Mereka semua merayakan hari dibangunnya gedung besar ini. Juga membahas rencana ke depannya akan bagaimana. Yang sama sekali tidak dimengerti oleh Retta. Gadis berkuncir kuda itu sedari tadi hanya mendengar. Meskipun ia tidak terlalu tahu apa yang dibahas, sebisa mungkin ia mendengarkan semua.

"Perkenalkan ini putri tunggal kami, yang bernama Aretta Valerie. Sebagai calon penerus keluarga, anak saya akan bekerja di rumah sakit Harapan Keluarga setelah tamat sekolah. Sebelum menggantikan peran saya di sini, saya pastikan, Aretta akan menjadi dokter yang hebat, membanggakan seluruh keluarga di Indonesia." ujar Dean begitu tegas. Hal itu membuat Retta menghela napasnya diam-diam.

Papanya--- Dean, adalah mantan dokter bedah sekaligus CEO rumah sakit Harapan Keluarga. Salah satu rumah sakit terbaik di Indonesia. Sedangkan mamanya--- Sonya, adalah seorang dokter kandungan di sana. Aretta adalah anak pertama mereka, putri tunggal harapan keluarga. Sudah menjadi keharusan, agar dirinya bisa menjadi penerus keluarga yang baik. Mengikuti jejak kedua orang tuanya.

Setelah perkenalan diri Retta, semuanya keluar dari ruangan untuk istirahat sebentar. Dan nanti, katanya akan dilanjutkan makan malam bersama.

Retta memilih duduk di kursi depan sebuah kamar inap. Di tangannya sudah ada buku dan bolpoin. Jemari itu dengan lihai memberi coretan indah berupa orang-orang dalam suatu ruangan. Persis seperti kejadian beberapa menit lalu.

"Aretta?"

Retta mendongak ke asal suara. "Kenapa bisa disini?" tanyanya begitu saja, sedikit heran kenapa juga mereka bisa bertemu.

"Lo tau rumah sakit ada buat apa." Yang ditanya menjawab cuek.

Rey tiba-tiba ikut duduk di samping Retta. Membuat gadis itu heran sempurna. "Ngomong-ngomong, nomer lo kok ga ada di grup kelas? Di grup line juga ga ada id line lo."

"Lo nyari nomer gue??"

"Iya."

"Buat apa?"

"Kita satu kelompok. Gue butuh nomer lo buat gue hubungi," ujar Rey lalu menyenderkan punggungnya ke kursi besi yang terasa dingin.

"Ngga perlu. Gue bisa sendiri." Ternyata ada yang lebih dingin dari kursi besi barusan.

"Sini hp lo." Tangan Rey menengadah ke arah Retta. Matanya melirik tangan kanannya yang masih mengambang di udara. Seolah memberi isyarat, buruan kasih.

"Gue bilang ga perlu."

"Gue ga mau cuma numpang nama."

Koridor rumah sakit itu lengang.

"Yaudah ini..." Mungkin tidak ada salahnya mengerjakan bersama.

Rey pun secara gesit membuka aplikasi hijau yang ada di ponsel milik Retta. Betapa terkejutnya ia ketika melihat hanya ada dua kontak. Itu nomer dengan nama 'Papa' dan 'Mama'. Kepala Rey tertoleh ke samping kiri demi melihat Retta yang sekarang tengah melamun.

Tanpa berlama-lama lagi, Rey segera mengetikkan beberapa angka yang sudah ia ingat di luar kepala. Tepat setelah Rey selesai menyimpan nomernya, sebuah panggilan masuk. Retta yang mendengar itu pun buru-buru mengambil alih ponsel miliknya.

"Iya, sebentar." Hanya dua kata yang diucap Retta pada Sonya melalui panggilan telepon dan langsung ia matikan tanpa membiarkan mamanya berbicara.

Retta berdiri dari duduknya. Ia menoleh ke belakang, melihat Rey yang juga sedang melihatnya. Karena tak ingin dimarahi soal membuat orang-orang menunggu dirinya di acara makan malam, Retta melenggang pergi begitu saja. Tanpa berpamitan.

LONELYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang