"Hai!"
Haidar menoleh ke sumber suara. Itu Lea. Ia tidak salah dengar, tidak salah lihat juga. Lea telah memanggilnya, juga menatap manik matanya. Mereka saling pandang selama beberapa detik, tapi Lea memilih untuk memutuskan kontak mata mereka terlebih dahulu.
Saat Haidar akan membalas sapaan Lea, gadis blasteran itu justru berjalan melewatinya. Membuat Elang yang berada di sampingnya langsung konek dan tak kuasa menahan tawanya. Elang tertawa sambil memukuli lengan Haidar. Bahkan sampai ke muka. Haidar pun jadi malu bukan main.
"Oy, Lea!" Haidar kali ini yang ganti memukul lengan Elang, bahkan lebih kuat dari pukulan Elang tadi.
Lea yang merasa dipanggil pun menanggapi sekenanya. "Apa?" tanyanya dari jarak yang cukup jauh.
"Besok-besok kalo manggil Haidar, pake Dar aja. Kasian anak orang geer. Hahahahahaha," tawanya makin kencang. Ia sangat terhibur dengan ini.
Melihat Elang yang belum juga berhenti, membuat Haidar, Rey serta Vando menggeleng pelan lalu melenggang pergi meninggalkan laki-laki itu di belakang.
Kantin hari ini penuh dengan anak-anak berseragam olahraga. Peluh keringat membasahi kening juga leher mereka. Mereka saling menerobos untuk dapat segera minum. Berteriak-teriak seperti penghuni kebun binatang.
Rey, Vando dan Haidar sudah duduk di salah satu bangku yang ada di kantin. Bangkunya terletak jauh dari kios-kios. Hanya itu yang tersisa. Di dekat bangku yang mereka duduki, terdapat sebuah pohon besar yang rindang. Angin berhembus sepoi-sepoi membuat datang pohon menari-nari. Satu dua daun berjatuhan. Suasana yang menyejukkan hati.
"Mau pesan apa?" Haidar bertanya di tengah-tengah asyiknya menikmati angin.
Vando menoleh ke arah kios-kios yang masih dipenuhi anak berseragam olahraga. "Nanti aja, masih rame."
Haidar ikut melihat ke arah yang sama. "Gampang, tinggal terobos aja, gue ahlinya. Kalau ga gitu mati karena dehidrasi gue! Mereka pikir cuma mereka yang capek? Gue juga capek tadi main basket," katanya berkeluh kesah.
"Perasaan tadi main ga sampai lima menit." Rey menyeletuk.
"Oh ya? Gue kira lima jam."
"Lima jam dari jidat lu lebar!" Vando menoyor jidat Haidar yang memang cukup lebar jika dilihat-lihat.
Haidar hanya terkekeh ringan menanggapinya. Ia kemudian berdiri, bersiap melawan lautan manusia penuh nafsu.
"Doain gue."
Selepas Haidar pergi, datang lah orang lain. Gadis berbadan mungil dengan kulit seputih susu yang rambutnya dikuncir kuda melangkah ke bangku mereka. Di tangannya terdapat segelas jus.
Langkah gadis itu seketika terhenti ketika melihat dua orang lain yang sudah menempati bangku kesayangannya. Dahinya mengerut. Ia pikir tidak akan ada orang yang mau duduk di bangku ini, karena letaknya yang jauh dari kios-kios.
Ia hendak berbalik sebelum sebuah suara memanggil namanya.
"Retta," panggil Rey.
Vando baru menyadari ada Retta disini. Ia mendongak dari posisi menunduk menatap ponsel.
"Duduk aja," ujar Rey singkat.
Retta menggeleng, "Ngga usah, masih ada bangku lain," ---sepertinya.
"Cuma pesen minum?"
Kerutan di dahi Retta semakin terlihat jelas. Untuk apa laki-laki di hadapannya ini bertanya mengenai pesanannya? Aneh sekali tiba-tiba bertanya seperti itu.
"Urusannya sama lo?" Retta malah bertanya balik, dengan nada judes.
"Gue nanya."
"Yang bilang lo pidato siapa?" tanya Retta lagi. Ia mulai sensitif pada Rey, apalagi setelah laki-laki itu bersikap sok peduli waktu di UKS.
KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY
RandomTentang kehilangan lalu mengikhlaskan. Namun seseorang datang untuk menggagalkan. ••• Kondisi keluarga yang terbilang tidak cukup baik membuat Aretta Valerie membutuhkan teman yang siap untuk mendukungnya. Hingga seseorang datang, menemaninya melewa...