Tangisan-tangisan makin menggila meski sudah berusaha dilenyapkan oleh seseorang. Nyatanya, yang perlu diketahui, orang tersebut jauh lebih ingin menangis. Namun tentunya ia harus tahu, jika ia juga begitu, akan jauh lebih merepotkan.
Dan mungkin... ibunya yang tengah memejamkan mata jadi merasa terganggu. Tak kunjung reda tangisan dari ketiga adeknya, yang meminta penjelasan, meminta tolong, tolong agar ibunya segera dibangunkan. Merasa tidak tega ketika dapat dilihat dengan jelas, berbagai macam alat yang entah apa itu ada di tubuh wanita kesayangan mereka.
Sungguh, ingin menangis ketika Naomi tidak mampu memberi penenangan yang ampuh. Ia hanya bisa mengatakan bahwa ibu mereka akan baik-baik saja. Tidak akan terjadi apa-apa. Meski ia sendiri ragu akan hal tersebut.
Setelah butuh waktu yang cukup lama, pada akhirnya ketiga adeknya itu telah menghentikan kericuhan. Mereka lelah dan mulai memejamkan mata untuk sekedar beristirahat di sebuah sofa panjang. Karena keadaan sudah agak membaik, mungkin sekarang giliran Naomi yang akan mencoba menenangkan diri.
Tetapi sebelum niatnya untuk membuka sepenuhnya pintu kamar, ia disuguhkan oleh rengekan anak perempuan. Membuatnya urung. Naomi sedikit mengernyit saat tahu bahwa anak perempuan itu adalah teman sekelasnya.
"Ma, aku mau ke Bali." Retta berujar mantap sembari menatap memohon pada ibunya.
"Baru aja kemarin kamu minta ke Belanda dan Mama turutin. Sekarang kamu minta ke Bali? Udah ke berapa kali ini???" ujar wanita yang Naomi yakini merupakan Ibu Retta.
Naomi tertegun. Ke berapa kali ini? Sebanyak itu kah Retta minta liburan? Dan selalu diturutin? Sepertinya sangat mudah bagi Retta meminta hal semacam itu.
"Iya. Dan aku mau sendiri. Mama sama Papa ga perlu ikut," kata Retta tidak ingin dibantah.
Wanita paruh baya tersebut akhirnya mengangguk pasrah. "Baik. Tapi ingat cepat pulang!"
Retta tersenyum kecil. Nyaris tidak terlihat. Juga tak lupa mengucapkan terima kasih yang teramat pelan.
Naomi akhirnya memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berjalan ke arah Retta. Kemudian berpura-pura terkejut, seakan baru tau ada Retta disini.
"Teman kamu?" Ibu Retta bertanya.
"Iya Tante, aku teman sekelas Retta. Namaku Naomi. Salam kenal Tan," gadis berambut panjang melebihi bahu itu tersenyum ramah pada ibu Retta.
"Kalau gitu ajak aja teman kamu ini ke Bali, Aretta. Biar ada temannya," perkataan tersebut lantas membuat kedua gadis terhenyak.
Retta bergumam pelan, "Dari dulu emang ga ada teman." Mungkin hanya ibunya yang tidak mendengar, tapi Naomi dengar itu.
"Emang lo mau ikut Nao?" Retta menatap Naomi tepat di matanya. Layaknya orang yang sedang menyiratkan sesuatu.
Naomi yang ditanya hendak menjawab. Namun ungkapan Retta selanjutnya membuat ia sedih bukan main.
"Gue pengen sendiri sebenarnya. Kalo lo ikut, pasti bakal repot."
"Bukannya dulu lo pernah bilang ga butuh temen? Kenapa lo ga terima waktu gue bantu sekarang?"
Sedikitpun Retta tidak menangkap maksud perkataan Naomi. Ungkapannya yang bilang tidak butuh teman itu yang mana? Dan karena raut bingung itu ditangkap oleh Naomi maka membuatnya menghembuskan napas geram.
"Jadi gimana rasanya ke Bali sendirian tanpa temen, Ta? Lo seneng dong, pasti, ga ada yang ngerepotin."
Kini Retta mengerti kejadian yang dimaksud Naomi. Jika diingat-ingat, memang kejadian waktu kelas 10 di rumah sakit itu menjadi pertemuan damai terakhir mereka. Sungguh, jadi alasan Naomi membencinya karena itu?
"Lo itu selamanya ga pantes punya temen. Sekarang Rey lo paksa jadi temen lo, ada rencana apa lo?" Tatapan tajam itu tak pernah luput sejak tadi dari raut Naomi.
"Gue jadi temen Retta bukan karena dipaksa. Retta ga ada rencana apapun apalagi rencana buruk seperti yang lo pikirkan," tanggap Rey yang kemudian memegang lengan Retta untuk segera dapat dibawa pergi.
Retta menahan ajakan itu, "Jadi, alasan lo benci dan gangguin gue terus cuma gara-gara itu?" sinis Retta.
"Sikap brengsek diri sendiri itu emang ga pernah disadari ya? Sampah banget lo!"
Atmosfer yang makin menggila itu sungguh tidak nyaman. Jika biasanya mereka berdua akan jotos-jotosan, jambak-jambakan ataupun tendang-tendangan, Naomi dan Retta sekarang hanya melempar tatapan sengit pada satu sama lain. Ini diam, tak ramai seperti biasanya, tapi entah mengapa ini jauh lebih tidak nyaman.
☁️☁️☁️
Derap langkah yang terburu-buru dengan yang satu perasaan sedang membuncah dari ujung hingga ujung koridor. Si perempuan sudah bersiap melempar tas, tapi si laki-laki justru mencengkeram tas tersebut.
"Gue mau bolos!"
"Lo bisa diem aja ga sih di sini? Mau balik rumah sakit, kan, lo?"
"Makanya minggir, gue mau bolos!"
"Hukuman lo bisa lebih berat lagi kalo bolos satu hari penuh! Gue yakin Ibu lo nanti sedih kalo tahu lo ninggalin pelajaran. Jadi, sekarang kita balik kelas, ya?"
Baru setelah itu Naomi menghempas tangan kasar sehingga cengkraman tangan Vando pada tas terlepas. Tas jatuh ke atas rumput. Masing-masing dari mereka lalu menghembuskan napas.
"Kita ini apa sih?" Naomi bertanya sembari mendudukkan bokongnya, menekuk lutut, dan menenggelamkan kepala.
Vando terdiam.
"Bukan siapa-siapa, kan?" Naomi mengangkat kepala, "Kita udah lama ga ada hubungan. Kita putus juga karena ga mau terlibat masalah satu sama lain lagi. Biarin gue brandal dan lo tetap jadi kesayangan guru."
"Nao, tapi gue ga bisa biarin lo kayak gitu. Naomi yang gue kenal itu orang baik," ungkap Vando dengan tangan yang meraih tangan Naomi agar dia berdiri.
Vando telah mengenal Naomi sejak di bangku sekolah dasar, tapi kemudian mereka pisah sekolah dan hilang komunikasi. Tetapi seperti sebuah takdir mereka justru menjadi sepasang kekasih saat masuk SMA. Awalnya semua masih normal, tidak ada yang berbeda dari sikap satu sama lain. Sampai suatu ketika Naomi mulai menjadi sering bolak-balik BK akibat kepergok membuat keributan dengan Retta, gadis pendiam di kelas mereka.
Sepertinya ini juga disebut takdir waktu mereka mengakhiri hubungan. Mereka bukanlah sepasang kekasih lagi, yang harusnya tidak perlu saling peduli.
Tas sudah berada di genggaman Naomi, tanpa berlama-lama ia lemparkan tas tersebut ke balik tembok tinggi di hadapannya. Ia mendekati tembok yang lebih rendah untuk mudah dinaiki dan langsung saja melompati tembok penghalang keluar area sekolah. Naomi membolos.
Vando diam sejenak. Namun tak butuh waktu lama, ia pun mengikuti Naomi menuju balik tembok. Ikut membolos. Walau sudah diperingati oleh atmosfer yang tidak nyaman, tidak perlu berurusan pada gadis pembuat onar, Vando masa bodo dengan itu.
~To Be Continued~
KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY
RandomTentang kehilangan lalu mengikhlaskan. Namun seseorang datang untuk menggagalkan. ••• Kondisi keluarga yang terbilang tidak cukup baik membuat Aretta Valerie membutuhkan teman yang siap untuk mendukungnya. Hingga seseorang datang, menemaninya melewa...