5. Memori Masa Lalu

8 1 0
                                    


"Kisahnya memang singkat. Namun selalu tetap ku ingat."
-Retta

☁️☁️☁️

Derap langkah kaki terdengar begitu jelas di telinga Retta. Ia tau ini langkah kaki milik siapa. Membuatnya tersenyum diam-diam.

"Selamat pagi, Retta!"

"Selamat pagi, Rey!"

Rey pun mendudukkan bokongnya di atas rerumputan. Di tangannya terdapat banyak camilan hasil membeli di mini market tadi. Tak terkecuali keripik kentang, yang selalu jadi favoritnya.

Retta pikir hanya camilan yang dibawa anak laki-laki ini. Ternyata masih ada yang lain. Sebuah kertas.

"Coba lihat ini." Rey menyodorkan kertas tersebut ke arah Retta. Wajahnya yang semula cerah tiba-tiba saja mendung.

Retta membuka kertas kusut yang sudah tidak terbentuk. Seperti bola. Angka 0 terpampang jelas dengan tinta berwarna merah. Retta menyipitkan matanya. Ini kertas harian mengerjakan soal pertambahan dan pengurangan.

Tidak ada jawaban yang benar. Semuanya salah. Retta beralih memandang Rey yang sekarang berusaha baik-baik saja dengan memakan camilannya.

"Kamu kok bisa dapat nilai nol?" Retta bertanya.

Rey menoleh, kemudian menyodorkan camilan di tangannya dan menyuruh Retta membuka mulut untuk dimasuki makanan asin tersebut.

"Soalnya susah. Aku ga bisa."

Retta tersenyum memaklumi. Ia menepuk pundak Rey dua kali sembari berkata, "Gapapa."

"Kamu dapat berapa pas kamu ngerjain soal angka-angka?" tanya Rey penasaran.

Retta berpikir. Sebenarnya ia ingat saja berapa hasil pekerjaan mudah itu. Tapi ia sedikit tidak enak mengatakannya.

"Aku yakin kamu dapat bagus. Seratus, kan?" Rey menebak penuh keyakinan.

"Iya..., kamu... dimarahin Papa dan Mama kamu?" Retta benar-benar tidak enak saat mengatakan itu. Tapi ia juga jadi penasaran.

Rey menggeleng santai. "Mereka malah ketawain aku. Huh, sebel banget!" katanya berteriak.

•••

"Aretta~" seseorang memanggilnya dari belakang.

Retta dapat melihat Rey yang kesusahan melewati jalanan yang jelek, karena belum diperbaiki dengan sepeda yang baru diganti rodanya menjadi 2. Membuat gadis kecil itu tertawa.

"Ayo cepat, Rey! Kamu mau aku yang menang?"

Akhirnya posisi mereka sekarang sejajar.

"Lagian ngapain kita lewat sini, sih? Jelek banget jalannya. Ga pernah di dandanin sih," ocehnya.

"Dandanin pake lipstip, ya?"

Mereka mengobrol sambil mengayuh sepeda.

"Kok lipstip sih? Namanya lipstik tauu," kata Rey membenarkan.

"Kok kamu tau? Kamu kan cowok. Jangan-jangan di rumah, kamu sering pakai itu yaaa?" Retta terbahak akan ucapannya sendiri.

"Ih enak aja! Awas aja kamu yaa."

Retta pun melesat lebih cepat dari Rey. Sedangkan Rey kembali tertinggal jauh di belakang. Membuatnya kembali menggerutu di sepanjang jalan.

•••

Tangan Rey tiba-tiba menarik tangan Retta untuk diarahkan ke cat berwarna pink. Membuat tangan gadis kecil tersebut menjadi tidak polos lagi.

"Maksud kamu apa--"

Rey buru-buru menarik kembali tangan Retta yang sudah ternoda cat yang masih basah untuk diletakkan di atas sebuah kanvas. Menekan telapak tangan itu kuat-kuat agar menghasilkan hasil yang bagus.

Setelah dirasa cukup, baru lah Rey melepaskannya. Ia tersenyum puas dengan hasil karyanya.

Mumpung Rey lagi melamun memandangi kanvas itu, Retta langsung saja menarik tangan Rey dan melakukan hal yang sama. Bedanya ia memberikan cat hitam pada telapak tangan kiri Rey.

Kanvas yang awalnya putih sudah terkena cat dari telapak tangan kedua bocah. Ternyata cukup bagus juga.

"Eh... kenapa harus warna hitam, Retta??" Rey bertanya, sedikit tidak terima.

"Bagus dong."

Rey bersiap akan menerjang Retta. Tapi gadis kecil itu cukup peka dengan keadaan. Dia berdiri dan melarikan diri. Kemudian disusul Rey yang mengejar.

Dengan pemandangan matahari yang makin tenggelam di ujung sana, mereka berlari sambil tertawa. Keduanya sama-sama merasakan bahagia bila sudah bersama. Rasanya ingin waktu lebih diperlambat.

"Tangan aku jadi jeleeeeekk."

"Hahahaha bagussss Rey. Itu namanya, SENI!"

•••

Tok! Tok! Tok!

Retta terbangun akibat suara ketukan pintu dari luar. Keringat dingin mengucur di pelipisnya. Atau bahkan, badannya sekarang sudah penuh keringat. Retta tidak nyaman dengan badan yang lengket.

Mimpi yang barusan ia alami bukan sembarang mimpi. Tidak mungkin hanya mimpi, karena Retta benar-benar pernah berada di keadaan itu. Kenapa memori itu selalu saja muncul?

Tidak hanya di mimpi, kadang di saat dirinya sadar sesadar-sadarnya, memori itu juga terus menghantuinya.

Susah. Sangat susah untuk Retta melupakan sosok itu begitu saja. Bersama bocah laki-laki yang doyan makan jajan itu dia bahagia. Retta selalu dibuat senang olehnya.

Jadi ketika waktu perpisahan itu tiba. Retta benar-benar tak rela. Bagaimana bisa ia rela bila matahari nya menghilang.

"Non Retta sudah bangun?"

Retta mengusap matanya berkali-kali. Menggaruk rambutnya kasar. Sebelum akhirnya menjawab. "Udah Bi...."

☁️☁️☁️

Hari demi hari terlewat hingga hari ini saatnya mempresentasikan tugas kelompok. Semua maju ke depan dengan baik tadi. Tidak ada hambatan untungnya.

Hari ini hujan. Hujan kali ini sangat deras. Petir pun bahkan terdengar nyaring. Oleh karena itu lah, Rey disini. Berlindung di bawah naungan halte. Tidak hanya dirinya, banyak orang yang juga sama berlindung dari guyuran hujan.

Rey menyapu pandangan pada jalanan. Hingga matanya menangkap seorang gadis bertubuh mungil sedang berlari melawan derasnya hujan. Gadis itu Retta.

Hubungan mereka sepertinya hanya sebatas teman satu kelompok. Semenjak hari dimana mereka duduk di kursi pinggir jalan menikmati sosis bakar, mereka tidak ada komunikasi lagi.

Mungkin memang karena cukup sampai disitu saja mereka berhubungan atau mungkin memang mereka tidak diizinkan berhubungan lebih.

Rey terus melihat pergerakan Retta sampai dia menghilang di perempatan jalan sana. Perempuan itu terlihat sangat terburu-buru. Apa tidak bisa dia berteduh sebentar sampai hujan reda? Apa dia tidak takut sakit?

Menurut pengamatannya, Retta suka sekali menyendiri, tidak pernah terlihat bersama teman. Tapi Rey dapat melihat di matanya yang selalu menatap segerombolan orang seperti ingin bergabung.

Retta juga merupakan pribadi yang kuat. Begitu pikirnya. Dia bukan orang yang akan diam ketika ditindas. Menurut Rey, gadis itu sangat sensitif. Bahkan pernah, ia melihat Retta yang serius belajar lalu merasa diganggu, dan gadis itu menggebrak meja dengan keras secara tiba-tiba.

Setidaknya itu yang Rey pikirkan sampai tak menyadari bahwa orang-orang mulai bersiap untuk pulang, sebelum hujan deras lagi.

~To Be Continued~

a.n:

Chapter ini singkat. Sesingkat kisah Retta dan teman kecilnya.

LONELYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang