10. Feel Blue

6 0 0
                                    

Sebisa mungkin Retta berusaha untuk tetap bertahan dengan apa yang kedua orang tuanya tekankan. Kamu harus jadi dokter. Katanya, agar mencapai hasil yang sempurna harus melewati proses yang panjang. Tapi proses yang panjang itu bukan kah butuh usaha yang besar? Dan usaha apabila tak ada minat bukan kah sia-sia?

Sekeras apapun usaha Retta memahami materi, mengerjakan latihan soal dan sampai pada saat menjalankan ujian...

"Tunjukkan ke kita kalau kamu bisa!"

... Retta masih bodoh. Ia tidak bisa memenuhi permintaan Mama dan papanya untuk jadi peringkat atas.

Oleh karena ia masih ingin jadi anak yang diharapkan Dean juga Sonya, Retta terus mengeluarkan usahanya. Setiap saat berkutat dengan berpuluh-puluh buku. Merelakan waktu bersantai-santainya demi sampai ke peringkat dua. Tapi itu belum cukup....

Retta menyoret kasar tinta hitam di atas lembaran buram akibat tak kunjung menemukan jawaban. Hingga kelas hampir penuh, ia masih belum menyelesaikan satu latihan soal. Pikirannya benar-benar buntu.

Laki-laki itu masuk tepat saat bel berbunyi nyaring. Ketika dirinya berhasil mendudukkan bokongnya ke kursi, Retta menelan ludahnya. Ia jadi ingat kejadian malam tadi. Tentang bagaimana seorang Retta menangis lalu menceritakan segala kesedihannya yang entah kenapa malah pada Rey, si anak baru.

Retta belum sempat mengatakan apa-apa ketika guru kimia mulai memasuki kelas dan memberikan salam. Maka semuanya pun membalas. Guru kimia tersebut tanpa banyak bicara langsung menuliskan spidol ke papan putih sambil menerangkannya di sela-sela.

Oke, cukup main-mainnya. Waktunya Retta kembali menjadi anak harapan orang tuanya itu. Berpura-pura menjadi orang lain. Yang melelahkan batinnya.

☁️☁️☁️

"Hari ini waktu latihan anak basket!" Haidar menyeletuk kesal pada segerombolan siswa ekskul lain saat di lapangan.

"Mana ada! Yang ada tuh sekarang waktunya anak paskib yang latihan! Lo coba deh liat langit. Mendung kan? Nah ntar kalau hujan, kita pada ga bisa latihan lagi kayak kemarin!!" seru salah satu siswa perempuan ikut tersulut emosi.

"Yaelah, hujan mah yaudah tinggal hujan. Gausah latihan ribet amat," nyinyir Haidar.

Rey, Vando dan Elang di belakangnya sedari tadi hanya berdiam diri tanpa mau ikut berdebat. Mereka menyerahkan semuanya pada ahlinya.

"Anak basket mah bisa latihan di lapangan indoor yee."

"Sayangnya lapangan indoor ga ada mataharinya."

"Lah, ngapa tiba-tiba jadi matahari?"

"Ya karena jadi ga panas oneng!"

"Justru yang butuh panas itu kita. Kalau ga panas bukan anak paskib namanya!"

"Ini apaan sih rame-rame?" Tiba-tiba suara lain datang menyela perdebatan pagi itu.

Lea dengan rambut dikuncir tinggi juga baju khas cheerleading itu berdiri di tengah-tengah Haidar dan si gadis paskibra. Matanya memandang malas pada si gadis.

"Ngapa ni bocah?" tanya gadis itu heran.

Naomi yang juga memakai pakaian yang sama seperti Lea ikut mendekat. "Anak paskib pindah dulu, deh."

"Hah? Apa maksud tiba-tiba ngusir??" sahutnya tak terima.

Lea merotasikan bola matanya sekali lagi. Badannya terarah penuh menghadap si gadis paskibra ini. Sedangkan Haidar di belakangnya ketar-ketir mengetahui jaraknya dengan Lea yang terbilang dekat.

LONELYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang