For Morosis 2

4.5K 743 97
                                    

Tito enggak tau kenapa dia harus salting sama jelmaan bakso ikan kayak Farelino Adrian. Dia selama ini being extremely gay sama temen-temennya buat becandaan doang, dan dia biasa aja. Giliran sama si kakak tingkat malah agak ... panik.

Soalnya di kacamata fudanshi-nya, potensi Farel buat jadi homo ini besar banget.

Farel mah sok-sokan doang homophobic, sok nentang Ezra sama Geraldy di awal. Farel lupa, apa yang paling dibenci, bisa jadi apa yang disuka. Dan Artito tau kalo Farel lumayan benci sama hubungan begituan—

—juga dia benci Artito Mahesa.

Tito takut. Enggak mau. Dia kalo homo, maunya sama yang sejenis crazy rich Asian yang ganteng banget pun sempurna, yang cuma nge-gay buat dia doang. Tito-sual. Biar macem cerita di Wattpad. Bukan bentukan beruk featuring babi hutan seperti Farelino Adrian.

Kadang kalo dipikir-pikir, Tito ini ke-geer-an banget, ya.

Hhhh, Tito mengembuskan napasnya capek fisik dan mental, sambil makanin risol danus milik Anindita yang dibuang sayang, dimakan bikin keracunan.

Tapi buat orang pelit macem Artito, dia mending keracunan daripada buang-buang makanan. Ini risol dia bayar pake duit, bukan pake daun.

Tito menatap nanar risol berkulit tebel tersebut, harusnya duit yang dia pake buat nge-cover risol itu bisa dipake buat dibelikan makanan yang lebih layak daripada beli karet ban berkedok risol ini.

Hhh, menghela napasnya lagi, ia berusaha menerima nasibnya yang harus merelakan perutnya yang dipaksa menerima makanan mematikan ini.

"Lo kenapa ngacir tadi? Mau gue borong juga risol lo."

Tito melirik tanpa berniat menjawab, mulutnya masih berusaha mengunyah risol itu susah payah.

"Udah, gak usah dimakan kalo nggak enak." Suara yang belakangan ini selalu memberikan polusi suara di sekitarnya itu berucap lagi, "Makan ini."

Terus Tito melongok ke arah plastik yang kakak tingkatnya—bukan Geraldy, yakali dia mau selingkuh sama kuda liar macem Artito—berikan. Terdapat bungkusan nasi yang kecium aroma bumbu kacangnya sampe ke luar bungkusan tersebut. Mantep dah.

"Itu apa?"

"Makanan."

Ya, nenek-nenek korengan juga tau itu makanan.

Tito sok jual mahal, dia langsung memalingkan mukanya, "Gue makan ini aja, sayang kalo nggak dimakan."

"Berapa lagi sih itu?" tanya Farelino Adrian.

"Tiga lagi," jawab Tito memelas.

"Lo tadi makan berapa?"

"Dua."

"Ya udah, sisanya gue beli. Lo makan ini aja. Itung-itung perayaan lo terakhir danusan sekalian farewell party sama ni risol karet ban."

Mata Tito berkaca-kaca alay. Tapi, emang dia agak terharu soalnya harus lepas sama risol malapetakanya Anindita untuk selama-lamanya, dia harus berbahagia dan memastikan enggak bakal ketemu sama risol membahayakan masa depan anak bangsa tersebut.

Tito merengek sok imut, "Aaaaaa, kok lo baik sih, Bang!"

"Najis," respons yang lebih tua pada aegyo Tito. "Tapi, gue emang baik. Ke mana aja lo?"

Memang Farel dan sifat narsisnya sudah melekat erat.

"Udah, lo makan aja. Keburu gado-gadonya dingin."

Dan dengan sukacita, Artito membuka bungkusan tersebut untuk kemudian memakannya dengan lahap di taman kampus, ditemani oleh Farelino Adrian.

"Lo kok mau-mauan aja sih makanin ni risol?" Farel bertanya sembari memelintir risol buatan Anindita, memelintir, membengkok-bengkokkan, menarik-narik udah kayak mainin karet gelang.

Farel mengernyit tidak habis pikir kenapa Artito bisa bertahan makanin risol danus ini hampir tiap hari. Risol Anindita ini ... ajaib.

Dipelintir, minyaknya keluar banyak.

Dibengkok-bengkokin keras, kalo dia lepas bersamaan sisi-sisi yg dia bengkokin bisa mental.

Ditarik, tapi nggak sobek-sobek. Beneran harus dipotong pake benda tajam, kalo pake gigi taring aja kudu mati-matian.

Kakek Farel kalo makan ini risol, bisa-bisa giginya yang putus bukan risolnya.

"Berapaan deh ini?"

"Dua ribuan." Tito melirik seraya mengunyah gado-gadonya dengan khidmat.

"Perasaan seribu dah."

"Naik jadi dua ribu, soalnya event-nya makin deket."

"Dih? Gak jelas amat?" Farel menatap Tito julid.

"Salahin noh kampus lo, sok-sokan mau ngundang Raisa tapi ngasih budget cuma cukup buat bayar Lesti." Tito menjawab dengan sebel. Kalo dipikir-pikir, ini rektornya kekeh banget mau ngundang Raisa, tapi pas diliat budgeting-nya cuma cukup buat bayar Lesti-Billar.

"Nih telornya enak nih, mayan." Tito memuji telur tersebut, dan mendadak melotot kaget menatap potongan telor rebus yang baru sedetik lalu dia tunjukin. "Eh? Telor? ANJINGGGGG!" Tito berteriak panik.

"Apa? Kenapa lo, To?"

"Gue alergi telor!"

"GOBLOK!" Farel mengumpat panik. "LEPEH! LEPEHIN, TOLOL! CEPET!"

"BUANG DI MANA!?" Tito ngomongnya udah mangap-mangap macem ikan koi, gak berani ngatupin mulutnya takut ketelen.

Terus dengan sukarela—dengan kondisi panik—Farelino nadahin tangannya di dagu Tito. "Lepehin! Lepehin di sini!"

Dengan ikut buru-buru, Tito manut. Dia pun langsung ngeluarin gado-gado plus telor yang udah dia kunyah sampe benyek.

JOROK BANGET, ANJIR.

Tapi enggak tau Farel kenapa nggak jijik ngeliat gituan. Dia malah menghela napasnya lega bersamaan dengan Artito yang juga lega, pun merasa bersalah begitu liat lepehan dia di telapak tangan Farelino.

Padahal Tito juga punya tangan, kenapa dia harus ngasihin tangannya buat Artito alih-alih ngarahin tangan Tito sendiri ke dagunya? Toh, alergi ini kan urusan Artito, bukan Farelino.

"Udah? Ada lagi nggak?" tanya Farel memastikan. "Tadi ada yang ketelen?"

Tito menggeleng ragu, "Nggak tau."

"Bentar, gue buang ini dulu, ya," kata Farel, keren banget lagaknya. "Abis ini kita beli obat buat jaga-jaga."

TUMBEN?

Pas liat Farel pergi sambil ngebawa—ew—kunyahan yang dibuang Tito, anak semester satu itu pun bertanya-tanya dalam benaknya. Kemudian, menggumam, "Ini Farel baik amat sama gue, naksir kali, ya?"

Ya, kembali lagi pada agenda overthinking Artito kepedean Mahesa.

Welcome to the dunia tipu-tipu, Tito!

-
-
-
-Bersambung-

Sebelum jauh, gue cuma mau ngingetin kalo cerita Morosis pake warning mature content. Kalo kalian ngerasa kurang suka sama tag dewasa tersebut atau di bawah umur, better you guys leave this story immadiately. Thank you.

MorosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang