For Morosis 19

6.5K 525 125
                                    

"Kalo ini cuma tindakan impulsif lo, lo bakal nyesel nanti," ujar Farel setelah ciuman sepersekian detik itu terlepas.

Mata Tito terlihat putus asa. Dirinya juga tidak tahu mengapa ia berani mencium Farel, padahal selama ini dirinyalah yang bersikap denial dan acapkali merasa dilecehkan.

Namun, lihatlah yang berbicara sekarang. Dia malah nyosor Farel duluan. Emang apa pun makannya, minumnya tetap jilat ludah sendiri.

"Gue—" Ucapan si adik tingkat menggantung. "Gue nggak mau lo sama yang lain. Lo ... sama gue aja, at least untuk sekarang."

"So ... make me ...," bisik Farel dengan suaranya yang rendah, berbisik tepat di atas telinga Artito Mahesa. "... stay."

!Content warning!
Nsfw, degrading, hand job, anal sex, fingering, rimming, kinky, sex with consent, safe sex, dirty words, narasi jorok.

Masih dengan posisi bersebelahan, dengan netra saling bertatapan. Tito menarik kerah sang kakak tingkat, menyatukan kembali bibirnya dengan bibir Farelino Adrian.

Jangan ditanya betapa Farelino senang dengan progres yang Artito lakukan. Lelaki itu bahkan tersenyum di sela ciumannya.

Ciuman Tito itu amatir, hanya menempelkan bibir. Sedangkan Farel ingin lebih. Maka dari itu, si lelaki yang lebih tinggi memperdalam ciuman tersebut, melumat bibir bawah Tito, mengisapnya kuat hingga Tito melenguh—

—Tito enggak tau, kalau ciuman bisa seenak ini.

Farel memiringkan tubuhnya, mencari posisi nyaman untuk terus mendapatkan bibir Tito. Juga, dirinya meremas pinggang Tito pelan.

Artito mengerang pelan manakala bibir sang kakak tingkat menggigit bibir bawahnya. Belum sempat ia memproses arti gigitan tersebut, lidah Farel telah menginvasinya. Bergulat, melilit, menggesek lidahnya di dalam sana hingga salivanya mengalir keluar.

Napas Tito terengah, tatapannya mengabur oleh air mata yang tiba-tiba memenuhi pelupuknya.

Sedikit tak rela saat Farel melepas tautan keduanya, sedikit memberi jarak tak lebih dari lima sentimeter. Farel tau-tau mengangkat tubuhnya ke atas paha yang lebih tua, untuk duduk di atas pangkuannya.

"H—hhh ...." Napas Tito semakin memberat ketika Farel menyusuri lehernya dengan hidung bangir lelaki tersebut, mengecupnya sesekali sehingga bulu kuduk yang lebih muda berdiri dibuatnya. Semakin geli saat ia merasakan rambut Farel yang agak gondrong ikut membelainya di sekitar sana. "B—Bang Farel."

"Hm?" Suara itu terdengar sangat dalam, membuat Tito semakin terbuai akan suasana yang telah tercipta.

"Lo ... mau ... apa?" tanya Tito dengan suara tercekat di akhir karena Farel tiba-tiba menggigit lehernya pelan, menandainya, kemudian mengecupnya.

Sang anak tingkat satu mendesah lega saat Farel menjauhkan kepalanya dari lehernya yang sensitif, untuk setelahnya beradu pandang dengannya. Dengan mata yang sama-sama menggelap, dengan gairah yang sama-sama berada di puncak.

"Menurut lo apa?" Bertanya sekaligus dibubuhi seringaian, itulah yang netra Tito tangkap.

Tito enggak sepolos itu untuk mengartikan apa arti kalimat yang Farelino lontarkan, apalagi dengan tatapan, pun dengan apa saja yang kakak kelasnya itu lakukan.

MorosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang