For Morosis 8

4K 642 98
                                    

🔞 explicit content and lots of harshwords, tidak diperkenankan baca saat berpuasa. 🔞

-

Tito udah mondar-mandir macem bajaj salah arah. Dengan gelisah dia ngegigitin kukunya panik.

Asli, Tito enggak habis pikir kenapa bisa seorang Farelino Adrian yang mana notabenenya kembaran babi hutan, musuh abadi Artito Mahesa, sekaligus orang yang akhlaknya paling minus di dunia ini bisa menciumnya?

Tito juga enggak habis pikir sama dirinya sendiri yang sempet mau-mau aja dicium si kakak tingkat, di saat dia bisa ngedorong itu titisan Abu Lahab waktu dia ngasih aba-aba mau nyium Tito. Kok bisa pasrah-pasrah aja gitu, lho!

"Anjing, watashi sangat kecewa. Watashi tidak bisa menerima semua ini AAAAA JINJJA, ISEKYAAAAAA!" Artito menjambak rambutnya frustrasi. "Goblok, goblok, goblok!"

Tito kalo diliat-liat banyak bener kosakatanya sampe kecampur-campur gitu pas emosi.

Terus Tito ngebanting dirinya ke atas kasurnya, abis gitu ngegerakin tangan dan kakinya asal, ngegeleng-geleng kenceng udah mirip baling-baling—tinggal terbangnya aja udah—alias mencak-mencak kayak orang kesetanan.

"Gue harus lebih rajin nonton bokep straight, astagaaaa," gumam Tito pake nada merengeknya. "MALU BANGET, ANJIR, KALO HOMO AAAAAA, MAU BERUBAH JADI ANIME AJA!"

"Ini semua gara-gara Farel homo sialan, isekya, shibal, asu, babi, jaran, monyet, shia, sattt, ANJINGGGGGGGGGGGG!"

"Abang, Bunda denger ya Abang ngomong apa!" Tau-tau dari luar kamar Tito, bundanya nyaut memperingati, "Jangan ngomong kasar! Nanti kalo ditiru Lea, Abang bunda pukul mulutnya nih, ya!"

Tito enggak menjawab—tapi dirinya langsung ubah posisi badan jadi tengkurep seraya membenamkan kepala di bantalnya, abis gitu dia pukul-pukulin itu kasur yang kagak berdosa.

Setelah tenang, dengan napas yang masih ngos-ngosan, Artito balik telentang. Berusaha tenang meskipun hatinya bergetar. Dia menarik serta membuang napasnya pelan disusul dengan gumaman, "Kayaknya gue terlalu sering nonton BL dan kurang asupan straight, anjir. Kudu tobat ini, mah."

Dengan segera, Tito meraih ponselnya, kemudian mengotak-atiknya dengan serius. "Nawaitu, kita nonton bokep straight dulu."

Emang setipis-tipisnya kulit bawang, masih lebih tipisan akhlak Artito Mahesa.

-

Udah setengah jam. Udah setengah jam lebih lima menit dua belas detik, dan Artito masih melototin itu anime hentai—Tito emang cupu, nggak berani nonton versi live action-nya alias film dewasa berbentuk nyata—dan demi apa pun anunya masih lemes banget kek titit tipes.

Tito mulai panik. Di layar udah ditunjukin adegan esek-esek no sensor, udah desah ampe serak itu chara, udah foreplay ampe coblos-coblos, tapi Artito enggak nafsu sama sekali.

Enggak, enggak, enggak. Nggak bisa dibiarin! batin Tito seraya menggeleng tak percaya.

"Bangun, dong, anjing! Bangun!" bisik Tito frustrasi sambil nyentil-nyentil sesuatu yang menggantung di antara selangkangannya. "Itu seksi, anjir, Tit! Ayo, bangun!"

Tapi apa daya, nasi sudah berubah menjadi dubur—maksudnya, bubur—sudah belok, enggak bisa lurus—

"SEMBARANGAN!" teriak Tito pada bisikan overthinking dari kepalanya sendiri. "MULUT SIAPA ITU?"

Kayaknya emang Artito beneran udah enggak waras, dia ngomel-ngomel sendiri, sambat mulu dari tadi.

Tito masang ekspresi mau nangis. Diiringi dengan backsound suara desahan anime hentai, dia mulai meratapi kemaluan kebanggaannya yang mulai mengkhianatinya yang bisa-bisanya enggak tegang waktu nontonin beginian.

Ya kali dia kudu upgrade ke bokep live action. Belum berani mentalnya.

Namun, semua ini demi ketahanan dirinya, kelurusannya, kenormalannya. Maka dari itu, Tito mulai berpindah pada situs lain yang sekiranya lebih hot menggoda.

Dengan memantapkan hati, dimulai dengan bacaan basmalah, ia mulai menonton adegan dewasa tersebut secara nyata.

Namun sayang seribu sayang, dan terjadi lagi, sudah empat puluh menit dua belas detik terlewat—

—titit Tito masih terverifikasi lemas.

"Enggak, enggak. Gue bukan homo." Tito berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Titit, kamu jangan impoten. Kamu aku rawat baik-baik yakali impoten, dipake buat kencing doang jangan belagak gondok impoten, deh."

Baru kali ini ada orang marahin kemaluannya sendiri. Emang Tito ini perilakunya sering di luar nalar manusia pada umumnya.

Tapi meskipun begitu, Tito balik panik. Tak lama dirinya mulai memerosotkan dirinya dari atas kasur jadi ke lantai kamarnya, pasang pose ngedrama sambil senderan sama ranjangnya.

Dia frustrasi. Dijambaknya rambutnya setelah meremas kemaluannya kesel. Dia marah sama dirinya sendiri, kenapa bisa kehomoan ini menyelimuti dirinya sampe-sampe dia enggak yakin sama seksualitasnya lagi.

Dia itu CUMA suka homo doang, tapi bukan berarti dia mau jadi homo. Lebih tepatnya, Artito adalah homophobic yang fetishizing gay gitu. Tito yakin kalo dia itu cuma shipper, bukan sampe ranah homo beneran sampe ke tulang. Dia bisa menerima, tapi ada jijiknya juga kalo dia jadi pelaku LGBT-nya. Parah banget, sih.

Bener-bener karma Tito double-double. Udah seksualitasnya lagi diuji, diujinya sama orang yang paling dia sebelin setengah mati pula. Udah jatuh tertimpa tangga ini, mah.

Artito beneran takut. Dia takut banget untuk ngadepin, juga menerima kalo dia beneran belok nantinya. Dia takut, banget.

Tito nggak bisa membayangkan gimana reaksi bundanya kalo tau anak laki-lakinya, pengharapannya, kebanggaannya ini jadi homo.

Jadi, Tito hanya bisa terduduk lemes seraya melipat kedua kakinya dan menunduk, menenggelamkan kepalanya di antara lututnya.

Hingga tak lama bahunya terlihat bergetar, Artito mulai menangis sendirian.

-
-
-
-Bersambung-

MorosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang