"Kok lo tumben, Tit, main ke rumah gue? Setelah lo kenal Bang Farel kan lo boro-boro inget dunia." Ezra mode julid bertanya selepas kedatangan Tito yang malam-malam udah memasuki kamarnya.
"Iya, setelah gue kenal si babi hutan itu, gue jadi inget akhirat mulu," ceplos Tito asal. "Abisan ya, gue antara pede masuk surga, soalnya bisa sabar ngadepin kelakuan dia yang kayak babi, sama yakin juga masuk neraka soalnya ini si asu bikin gue mengucap kata kasar mulu, allahuakbar."
"Tapi gitu-gitu lo ciuman, Tit."
"EZRA!" Tito teriak sambil melotot mengancam. "Enggak ada yang ngajarin kamu suudzon gitu ya, Nak! Ayah enggak pernah ngajarin—"
Omongan Tito tidak akan pernah selesai setelah ada tempelengan main-main dari Ezravine Athala, "Mulai, dah, dramanya!"
Tito cuma cengengesan. Dia emang lemah kalo urusan berdebat sama Ezravine Athala. Emang paling bener kalo dia gay tuh gay-nya bersama Ezra aja. Apa-apaan orang-orang malah mau jodoh-jodohin Tito sama Farel, ih enggak suka gelay.
"Lo tadi siang kenapa ke rumah gue, Zra?" tanya Tito mengubah topik obrolan, "Mana muka lo sedih banget lagi. Kenapa? Abis ditabok bolak-balik sama Tante Fanya? Laporin aja ke komnas perlindungan—"
"Keluarga gue enggak sedrama itu, Tito!" Asli, ini lama-lama Ezra gregetan sama cerocosan Tito dan skenario buatannya alias enggak jelas abis.
"Terus apa, dong?" tanyanya kembali sambil merebahkan dirinya di kasur Ezra, tepat di samping sahabatnya itu.
Ezra yang posisinya rebahan sembari menyilangkan tangan di belakang kepalanya itu sempat beberapa detik terdiam sambil menatap langit-langit kamarnya.
"Gue kayaknya beneran harus nyerah aja deh, Tit, sama Bang Ge."
Tito refleks bergerak cepat, dari semula posisinya kayak Ezra, jadi memiringkan tubuhnya menatap Ezra yang masih menatap plafon kamar.
"Kok gitu, Zra?!"
"Abisan, gue enggak tega liat dia kesakitan mulu karena gue. Masalah idup dia udah banyak, malah ketambahan sama gue," papar Ezravine sedih. "Dia udah keluar rumah sakit beberapa hari yang lalu, tapi kepalanya masih belum sembuh betul, kan. Terus semalem ayahnya masih ngeliat gue kayak musuh, Tit. Terus lagi-lagi mereka berantem, meskipun cuma saling debat doang. Terus enggak lama Bang Ge kesakitan banget kepalanya, Tit. Ih, sumpah enggak tega banget gue ngeliatnya."
Tito sempat mau berucap, tapi takut salah ngasih wejangan kayak dulu lagi. Pada akhirnya, Tito hanya diam untuk berusaha menyimak curahan hati sahabatnya itu.
"Dia kesakitan banget sampe mukanya merah, mana urat-urat kepalanya nonjol semua," lanjut Ezra sambil mengusap air matanya yang keluar sedikit dari ujung netra. "Kalo gue putus, kan, Bang Ge sakit cuma sementara doang. Terus dia bakal move on, kembali ke hidup damainya yang semula kayak sebelum kenal gue. Orang tuanya yang support dia, dia yang fokus belajar aja, terus punya pacar cewek, m—menikah ... punya anak ...."
Bisa Tito liat semakin banyak air mata Ezravine yang mulai mengalir deras, membanjiri pipinya.
Tanpa ba-bi-bu, Artito menarik tubuh Ezra ke dalam pelukannya, mengusap punggung lelaki itu dengan hati-hati.
"Nangis aja, Zra, keluarin aja semuanya," ujar Tito pelan.
"Tapi gue enggak bisa ngebayangin Bang Ge bahagia tanpa gue. I want to be the part of his happiness in his future too, Tito." Semakin banyak suara isakan itu terdengar, semakin erat pelukan yang Tito berikan.
Tito menggigit bibir bawahnya keras, ikut sedih melihat sahabatnya ini menangis pilu. Jarang-jarang Ezra menangis kayak begini.
Tanpa Ezra ceritakan juga Artito tau betapa besar Ezra mencintai Geraldy Sanjaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Morosis
Teen Fiction[Spin-off Stoic : Geraldy dan Ezravine.] Artito tuh cuma fudan yang suka homo pada umumnya, tapi dia yakin kalo dia ini lurus banget selurus rambut Dora. Kemudian, sahabatnya satu-satunya Ezravine Athala akhirnya punya pacar cowok juga, si kakak tin...