"Kenapa 'jangan'?" tanya yang lebih tua dengan mata yang masih senantiasa menyelami manik tersebut. Berharap ia bisa membaca apa yang ada di dalam pikiran Artito Mahesa.
"Lo yang bener aja pake nanya 'kenapa?'. Orang mah beda gender, satu agama. Lo sama gue malah satu gender, beda agama. Ini double-kill namanya," papar Artito. "Udah dosa homo, dosa beda agama, dihakimi massa anti-LGBT pula!"
Tito membanjiri Farelino dengan lautan fakta. Semua yang Tito bilang, memanglah benar adanya. Membuat Farelino menjambak rambutnya frustrasi.
"Seandainya lo cewek ...," gumam Farelino pelan, namun masih dapat ditangkap oleh pendengaran, mengingat mobil dan parkiran yang sepi ditemani dengan keheningan.
Tito mengernyitkan dahinya tidak terima. "Gue mau cowok, mau cewek, mau transgender juga tetep ogah sama lo."
"Monyet lu, To!"
"Makanya kagak usah sok lurus lo kemarenan, segala nge-bully Bang Geraldy. Lo kagak bakal tau ampe kapan lo bakal tetep lurus, bisa aja di masa depan lo ikutan homonya. Jilat ludah sendiri emang paling enak."
"Kata gue enakan jilat ludah lo sih, To."
"BABI! MESUM LO, ASU!"
Dan kembalilah mereka ke dalam keheningan. Tak tahu ingin mengatakan apa lagi.
"K-kalo gitu, gue mau kelas dulu," pamit Artito sembari buru-buru membuka pintu. Dirinya ingin segera kabur dari suasana awkward ini.
"To," Farel menahan pergelangan si adik tingkat sehingga yang lebih muda kembali mengarahkan atensi kepadanya, "gue masih mau suka sama lo."
"Hah?"
"Biarin gue cari cara buat ngilangin rasa suka sama lo, tapi untuk sementara, gue pengen nikmatin rasa ini dulu, boleh?"
Oke, selama ini Artito disuguhkan dengan Farelino si reog kabupaten Bekasi tukang sosor, tukang ngegas, tukang cium sembarangan. Dan sekarang tiba-tiba dia dihadapkan dengan Farelino yang beberapa kali meminta consent-nya setelah penjabaran hal yang Tito benci pada Farelino.
Dan Artito enggak tahu kalau impact-nya sebesar ini pada dirinya.
"Gue ...."
"Enggak perlu lo jawab, gue cuma izin sebagai formalitas doang biar lo enggak kaget. Gue bakal tetep keep perasaan ini sampe gue sendiri yang capek. Lo tau perasaan orang enggak bisa diatur dan enggak bisa dipaksa, 'kan?" finalnya.
Farelino tetaplah si keras kepala, juga pemaksa.
"Orgil," ejek Tito sembari turun dari mobil Farelino. Belagak santai, padahal hati terbantai—anjay—Jalan sok iye, padahal di kepalanya mumet soalnya perasaan Farelino ini membebani pikirannya banget.
Tiin!
"Anjing! Jangan ngagetin pake klakson bisa kagak, sih?!" maki Tito saat baru beberapa langkah keluar mobil, lagi-lagi klakson mobil Farelino mengagetkannya.
"To, gue mau infoin, kalo gue udah sayang sama lo, bukan suka lagi!" teriak si kakak tingkat dengan tidak tahu malunya dengan kepala menyembul dari jendela bagian kemudi.
"MONYETTT! LO BISA DIEM AJA KAGAK SIH?!" teriak balik yang lebih muda. Asli, untung parkiran lagi sepi. Kalo rame, pasti Tito udah nimpuk kepala yang lebih tua pake besi.
Sedangkan Farel? Lelaki itu cuma cengar-cengir aja di dalam mobilnya sambil ngeliat Artito yang berjalan dengan langkah tergesa. Emang hobinya ngegangguin si kucing garong, soalnya Tito lumayan lucu kalo ngamuk.
Emang Farel tuh masokhis abis.
-
"Btw, Tit, gue tadi liat lo masuk mobil Bang Farel," kata Ezravine begitu Tito mendaratkan pantatnya di bangku kantin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Morosis
Teen Fiction[Spin-off Stoic : Geraldy dan Ezravine.] Artito tuh cuma fudan yang suka homo pada umumnya, tapi dia yakin kalo dia ini lurus banget selurus rambut Dora. Kemudian, sahabatnya satu-satunya Ezravine Athala akhirnya punya pacar cowok juga, si kakak tin...