Part 18

8 3 0
                                    

Raina bergegas pergi ke rumah sakit. Beberapa jam yang lalu, ia baru saja mendapat kabar dari Eric tentang keberadaan Raindra. Untung saja ia tepat waktu datang ke sana. Jika tidak, sudah di pastikan Eric akan membohonginya.

"Maaf, anda tidak bisa menemui dokter andy" ucap salah satu suster yang sedang mencegah Raina masuk ke dalam ruangan Dokter Andy.

"Lepaskan saya! Saya harus bertemu dengan dokter andy"

"Tidak bisa. Dok–"

Ceklek

"Ada apa ini?"

Dengan sigap, Raina memegang lengan Dokter Andy. "Saya mau bicara sama dokter" ucapnya penuh keyakinan.

Mau tidak mau, Dokter Andy membawa Raina masuk ke dalam ruangannya. Ia baru sadar, beberapa pasien yang sedang berlalu lalang menatap mereka dengan penuh tanda tanya.

Dokter Andy menyuruh Raina duduk di kursi yang sudah di sediakan. Tidak lupa, ia pun menyuruh Raina untuk sedikit tenang, karena ia tidak mau mengganggu pasien lain yang sedang berada didekat ruangannya.

"Raindra"

Dokter Andy mengangkat sebelah alisnya. Ia masih enggan untuk merespon ucapan Raina.

"Saya tau. Dokter dan raindra menyembunyikan sesuatu dari saya"

"Maksud kamu?"

"Saya tidak suka berbasa-basi. Raindra sakit kan?"

"Kamu tidak bi–"

"Jujur sama saya dok! Dengan cara kalian menutupi semua ini, saya merasa seperti orang asing. Saya tau, dokter belum lama kenal saya. Tapi raindra, dia sahabat saya dari awal masuk SMA"

Dokter Andy memilih diam. Ia membiarkan Raina mengeluarkan kegelisahannya selama ini.

"Separah apa penyakit raindra sampai dia menutupi semua ini dari saya?"

Raina menggenggam tangan Dokter Andy yang sedari tadi berada di atas meja. "Dokter percaya saya kan? Raindra sakit apa?"

"Iya, raindra memang sakit. Kalau kamu ingin tau, mending kamu tanya raindra"

"Kasih saya kepercayaan...." lirihnya yang langsung membuat pertahanan Dokter Andy tumbang.

Dokter Andy berdiri dari kursinya. Lalu berjalan ke arah lemari untuk mengambil map yang ia taruh disana. Ia menghela nafasnya gusar, lalu memberikan map itu kepada Raina.

Beberapa menit setelah Raina membaca isi map itu, ia menatap Dokter Andy meminta penjelasan.

"Raindra mengidap penyakit kanker otak stadium akhir"

Darah Raina berdesir. Air mata kini sudah tidak bisa ia bendung. Ia sangat kecewa dengan Raindra, masalah sebesar ini mengapa ditutupi darinya.

"Sejak kapan?"

"Saat SMP, raindra datang menemui saya. Saya kira ia hanya ingin konsultasi. Tetapi saat saya menanyakan keluhannya, saya sedikit tidak yakin dengan pendapat saya. Saya menyuruh raindra tidur teratur dan menjaga pola makannya. Seminggu setelah ia datang menemui saya, raindra kembali lagi untuk menanyakan kondisinya yang bertambah buruk. Saya mengajaknya untuk memeriksa ke rumah sakit lain, kebetulan teman saya bekerja disana. Dan dugaan saya benar, ada tumor di otak raindra"

Dokter Andy menjeda ucapannya. Ia menatap Raina yang sudah terisak sambil mendengarkan ucapannya.

"Saya menganggap raindra sudah seperti adik saya sendiri. Bahkan saat raindra bertemu kamu, ia menceritakannya dengan ekspresi yang sangat bahagia. Saya sudah menyarankannya untuk segera mengangkat tumor itu, tetapi ia menolak dengan alasan belum siap. Raindra sangat yakin, ia akan sembuh dengan menjalani perobatan rutin. Tetapi saat ia kelas sebelas, penyakitnya semakin parah. Saya sudah berkali-kali menyuruhnya untuk segera di operasi. Tetapi dia tetap dengan pendiriannya, raindra keras kepala"

RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang