Pada saat Bu Salma tengah fokus mengurus keenam muridnya itu, Adiva berdiri dari kursinya menghampiri meja Reo yang kini tengah asyik membaca buku cetak matematika.
Adiva sudah berdiri di samping Reo yang menunduk, sekonyong-konyong kehadiran Adiva membuat Reo mendongak melihat gadis itu. "Reo, saya boleh duduk di sebelahmu? Kamu kan pandai matematika, saya mau minta bantuanmu kalau saya gak paham."
Please, mau dong ... batin Adiva memohon.
"Saya rasa kamu lebih baik izin sama, Harun. Dia yang punya kursi itu."
"Harun, kan lagi dihukum. Kamu selaku teman sebangkunya, pasti punya hak buat izinkan saya duduk di sini."
"Saya sendiri tidak masalah."
Adiva mengepalkan tangannya dan menariknya ke bawah sebagai aksi bahagia sebab misinya meminta izin Reo untuk duduk sebangku terpenuhi. "Yes!" kata Adiva sambil tersenyum sembunyi.
"Makasih banyak, Reo." ucap Adiva sambil tersenyum. Reo membalasnya dengan anggukan kecil. Senyum Adiva memudar dengan cepat tatkala pernyataan melintas dalam benaknya bahwa Reo tak pernah bersikap manis pada siapa pun seperti ia bersikap manis terhadap Ana.
"Kamu sama Ana sudah lama kenal, ya?"
"Lumayan."
"Sejak kapan?"
"Kelas 7."
"Orang tua Ana kenal sama kamu, Re?"
Reo diam, bahkan tak kelihatan tanda-tanda untuk bersuara menyahuti Adiva. Tindakan itu membuat Adiva menelan salivanya sebagai tanda sepertinya ia tak butuh waktu lama untuk menyesali pertanyaan yang ia lontarkan pada Reo barusan.
"Orang tua saya juga kenal sama, Ana." balas Reo sambil tersenyum tapi menghadap ke arah buku cetak matematika itu. Adiva sudah cukup kesal karena senyum Reo bukan diperuntukkan baginya, ditambah lagi dengan orang tua mereka yang saling kenal, Adiva menarik kesimpulan kalau keluarga mereka memang dekat. Kesabaran dalam diri Adiva perlahan berkurang bahkan hampir saja habis karena kini ia tak ada alasan untuk menegarkan diri.
"Wah, berarti akrab banget dong, ya."
Reo melirik Adiva dan melukis senyum melihat punggung Ana dari posisinya duduk saat ini. Adiva ingin berteriak saja rasanya jika semua orang yang ada di kelas ini tuli.
***
Istirahat pertama baru saja berlangsung. Ana dan Kemala sedang berjalan menuju kantin saat keduanya ingin makan makanan kantin. "Kira-kira makan apa ya hari ini, Na?"
"Mi ayam aja gimana?"
"Kenapa harus mi ayam?"
"Lagi pengin makan pedas, Mal."
"Justru itu, Na. Saya gak mau makan mi ayam karena gak selera makan makanan yang nguras keringat. Abisnya pedas."
"Mi ayam kan sesuai selera, Mal. Saus dan kecapnya bisa kamu atur sendiri."
"Kenapa gak nasi goreng spesial aja? Takaran bumbunya sudah pas, gak perlu atur-atur sendiri lagi."
"Nasi goreng spesial gak pedas, Mal. Saya kan lagi pengin makan makanan pedas."
"Ya sudah, kan bisa kamu tambahin saus, Na. Sesuai seleramu." Ana mencubit lengan Kemala kecil, ia mengejar Kemala yang berlari menghindari amukan darinya.
***
"Huhah! Pedas banget, Malaaa~" lirih Ana menyesal karena menuangkan saus terlalu banyak. Mungkin ini sudah menjadi level tertinggi tingkat kepedasan yang pernah Ana rasakan selama ia hidup. Kalau sang ibu tahu, mungkin Ana sudah diomeli habis-habisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Patah Hati
RomanceAneh sekali rasanya, Ana yang tidak peka selalu saja mendapatkan perhatian mendalam dari seorang pemuda yang baik tutur katanya itu dan tampan rupanya itu. Hati selalu memberi teka-teki, selalu menarik diri pada hati lain yang cenderung tak mempunya...