Dua Puluh Empat

391 42 69
                                    

Ruangan itu gelap karena lampu tidak ada yang hidup walaupun langit tampak cerah di luar sana. Selain sumpek, udaranya juga tidak baik bagi kesehatan sebab debu begitu tebal menutupi barang-barang yang tak lagi digunakan itu. Keringatnya sudah mengalir, bahkan roknya sudah ditetesi beberapa butir keringat.

Gudang yang terkesan lembab, membuat ketakutannya semakin menjadi-jadi. Semula, ia masih sempat berpikir orang-orang akan memasuki ruangan ini sehingga ia bisa minta pertolongan, malang, semua hanya harapan sia-sia.

Dadanya sesak, mulutnya ditutup lakban. Kedua tangannya diikat ke belakang kursi yang ia duduki, kakinya juga demikian. Pikiran buruk menguasai dirinya, ia ... sangat takut. Jika ia tidak datang ke sekolah agak awal, mungkin ia takkan berada di sini.

Sekuat tenaga, untuk kesekian kalinya, ia berusaha melepas tali yang mengikat tangan dan kakinya. Rambutnya yang terikat satu ke belakang telah berserak, bahkan hampir sebagian telah keluar dari ikatannya.

Tasnya entah di mana, handphone yang berada di dalam tasnya itu bergetar karena panggilan yang tak kunjung diterima. Andai handphonenya tidak dalam mode getar, mungkin ia tahu tasnya berada di mana. Di ... belakang lemari di sampingnya.

Oh ayolah, ia tidak sedang akting, di mana kameranya, ia menyerah! Semampunya, ia berusaha menahan tangis, ia tidak boleh putus asa. Seseorang pasti akan menemukannya di sini. Sial, air matanya sudah mengalir. Ia teringat seseorang, ayolah, tolong dirinya, tidakkah hati kecilnya risau?

Sepasang matanya melirik apa-apa yang dapat ia lihat, ia menutup matanya sebab emosinya meledak bersiap mengumpat jika ia tahu siapa dalang di balik semua ini. Tangis yang kurang jelas terdengar karena lakban menutup mulutnya itu membuat ia tampak menyedihkan, ia mau pulang, mau di rumah saja dan mau bersama ibu. Matanya merah, dibanjiri butir air mata yang tumpah.

Panas sekali, udara tidak ada di sana, pengap. Tubuhnya lemas, ia tak ada tenaga untuk kembali berusaha melepas tali yang mengikat tangan dan kakinya.

***

Saat pukul 07.09 WIB, Adiva sampai sekolah. Ia melihat Kaisar yang duduk di koridor sendirian, ia terpikirkan suatu hal. "Hai, Kak." sapanya, Kaisar diam kemudian memberi senyum kecil.

"Kenapa Kak kalau boleh tau? Kayaknya suntuk banget," kata Adiva.

"Gak apa-apa, lagi gak mood aja." Adiva mengangguk. "Soal Ana ya memangnya?" tanyanya berani, ia agak mengecilkan volume suaranya.

"Iya." mereka sama-sama diam, tak lama kemudian Kaisar kembali berkata. "Soal omongan kamu waktu itu, itu benar?"

"Oh itu," Adiva tampak berpikir, berkata, "Masa, iya saya berani ngarang? Reo, memang begitu, dia kan cinta sama Ana sejak lama."

"Kamu tau dari mana?"

"Kalau kita suka sama seseorang, biasanya kita tau dia sukanya sama siapa."

"Kamu suka sama, Reo?" alis Kaisar terangkat sebelah. Adiva memberi anggukan.

"Berarti kita sama dong, nih? Sama-sama gak jadian."

"Memangnya Kakak pernah nyatain suka Kakak sama, Ana?"

"Pernah." Adiva kaget bukan main.

"Lalu?"

"Dia belum menjawabnya." sial, berarti mereka benar-benar sama, sama-sama tidak mulus rasa sukanya.

"Selagi Reo ada, jangan harap bisa dapatkan Ana atau dekat dengannya." Kaisar diam, mencerna perkataan Adiva baik-baik. Ya, berdiam diri saja, Reo jelas berbahaya, apalagi jika ia bergerak mendapatkan Ana? Gawat. Adiva tersenyum miring, ia berhasil memprovokasi Kaisar. Setidaknya ... Adiva ingin Ana tersingkirkan, karena Ana ... takkan mendapatkan Reo. Ia yakin, Kaisar akan merebut Ana dari Reo, dan Reo ... untuknya seorang.

Narasi Patah Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang