Tiga Belas

458 55 60
                                    

Mobil berwarna merah memasuki parkir SMA CEMPAKA yang penghuninya tak lain dan tak bukan adalah Shea dkk. Ketiganya turun dari mobil, menghirup udara sejuk SMA yang lama tak mereka rasakan. Lunar melirik Tamara, yang dilirik melempar senyum miring. Ketiga gadis itu berjalan melewati lapangan SMA yang amat luas.

Di tengah perjalanan menuju kelas, Tamara memulai obrolan. "Kamu masih punya rencana buat kasih Ana pelajaran? Mau sampai kapan?"

Shea melirik Tamara. Memusatkan pandangan matanya lurus-lurus sambil memasang ekspresi sulit ditebak. "Masih dong. Sampai dia kapok! Supaya gak sok cantik." Lunar menahan tawa, lebih tepatnya tawa yang mengandung ledekan.

"Asalkan kita gak kena suspensi, saya sih aman aja. Saya malas dengarin omelan mama saya tau."

"Betul. Saya sudah gak ada alasan lagi untuk jelasin apa yang terjadi sama mama. Saya hampir tuli karena dinasihati melulu selama di rumah."

"Tenang aja. Rencana kali ini bakalan aman." ujar Shea meyakinkan kedua sahabatnya itu. Ia menyunggingkan senyum licik di bibirnya.

***

Di kelas, Kenny duduk bersama Nasya. Sedang Frida duduk bersama Mandy di belakang meja Kenny. Mandy yang sedang di ruang guru untuk memberi laporan uas kas terpaksa belum mengikuti pelajaran sebab keperluan tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Kemala duduk dengan Frida sedangkan Ana duduk dengan Reo, setidaknya untuk sementara waktu.

"Sejak semalam, saya rasa kamu sedang tidak baik-baik aja, An." ucap Reo. Ana yang sedang memperhatikan gambar di bukunya hanya menjadikan itu sebagai kesibukan saja agar berakting seolah tak memedulikan kehadiran Reo.

Ana menahan denyut jantungnya yang kian memburu tatkala Reo masih terus memandang wajahnya dari samping. "Kalau saya yang buat kamu seperti ini, kasih tau saya, An, supaya saya bisa minta maaf atas kesalahan yang tanpa saya sadar buat kamu marah."

Masih diam tanpa mengindahkan ucapan Reo, Ana membiarkan Reo terus-terusan bersuara dengan sengaja. "Saya gak minta kamu buat jelasin semuanya sekarang. Cuma ..., kalau kamu marah sama saya, kasih tau sama saya, biar saya biarkan kamu sendiri. Gak ngajak kamu ngobrol kayak sekarang."

"Gak apa-apa kok, Re. Kayaknya saya mau datang bulan, makanya emosi gak menentu kayak sekarang. Kamu gak salah apa-apa, masa iya seseorang yang selalu baik sama saya harus selalu saya salahkan dalam segala hal? Saya minta maaf, ya."

Setidaknya Ana tak perlu memberitahu Reo soal ketidaksukaan gadis itu terkait rencana Reo dan Adiva yang berjanji akan pergi ke suatu tempat tapi entah ke mana. Ana juga sudah meyakinkan dirinya, tidak mungkin ia meminta Reo untuk tidak pergi bersama Adiva sedangkan ia bukan siapa-siapa Reo. Ana juga sudah berulang kali meyakini diri sendiri, agar tidak merasa paling nomor 1 dalam hidup Reo.

"Memang nyeri haidnya sudah terasa, An? Sakit sekali, ya?"

Aduh, mengapa Reo membahas itu? Ana jadi malu karenanya. Wajah Ana lagi-lagi memerah karena malu. "Iya, Re. Jangan kamu bahas dong, malu tau."

"Maaf, An. Saya gak maksud. Memang saya gak pernah tau rasanya gimana, tapi pasti sangat tidak nyaman. Kalau gitu saya balik ke meja saya, ya, An. Nanti kehadiran saya buat kamu badmood pula. Kalau haid, kan, emosi tidak stabil."

Ana memberi senyuman pada Reo, Reo yang melihatnya hanya terkekeh sebab betapa manisnya senyum itu. "Makasih banyak, Re. Kamu gak pernah buat saya badmood, kok."

"Bye, Leana. Kalau makin nyeri, ke UKS aja. Biar saya yang izinkan." Ana mengangguk.

Sialan. Caper banget si, Ana. Sok cantik. Adiva bersama kecemburuannya, membuat ia tiada bosan-bosannya memaki Ana dalam hati.

Narasi Patah Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang